Opini

Opini: Manajemen Berbasis Guru, Solusi Semu di Tengah Krisis Mutu Pendidikan

Dalam praktiknya, Manajemen Berbasis Guru seolah-olah memaksa guru menjadi manajer, administrator, sekaligus pengembang kurikulum. 

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-DOK PRIBADI
Heryon Bernard Mbuik 

Oleh: Heryon Bernard Mbuik, M.Pd
Dosen FKIP Universitas Citra Bangsa Kupang- Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Ketika dunia pendidikan Indonesia bergulat dengan problem mutu yang tak kunjung membaik, muncullah konsep " Manajemen Berbasis Guru" (MBG) sebagai solusi segar yang menggoda. 

Wacana ini lahir dari keinginan untuk memberdayakan guru sebagai aktor utama pengelolaan sekolah, mengingat peran sentral mereka dalam proses pembelajaran. 

Namun, di lapangan, MBG justru seringkali menjelma menjadi beban baru yang memperparah carut-marut tata kelola sekolah dasar hingga menengah.

Alih-alih menjadi penggerak utama perubahan, guru kini lebih sering menjadi "pekerja serabutan" — mengelola anggaran BOS, meng-input data Dapodik, menjalankan ARKAS dan SIPLah, sambil tetap diharapkan memberikan pembelajaran yang inovatif, terdiferensiasi, dan berbasis proyek.

Beban Ganda Guru: Mengajar dan Mengelola

Dalam praktiknya, Manajemen Berbasis Guru seolah-olah memaksa guru menjadi manajer, administrator, sekaligus pengembang kurikulum. 

Ini menciptakan situasi paradoks: guru dituntut profesional dalam pembelajaran, tapi juga dibebani peran-peran non-pedagogis yang memakan waktu dan tenaga.

Laporan World Bank (2021) menyoroti bahwa sebagian besar guru di Indonesia mengalami overload tugas administratif, yang secara langsung berdampak pada rendahnya kualitas pembelajaran. 

Hal ini diperkuat oleh evaluasi internal Kemendikbudristek (2022) yang mencatat bahwa rata-rata guru hanya menghabiskan 30–40 persen waktunya untuk merancang pembelajaran, sisanya tersita untuk laporan dan urusan teknis lainnya.

Mutu Pendidikan: Tidak Bergerak ke Mana-mana

Ironisnya, meski beban kerja guru meningkat, kualitas hasil belajar siswa stagnan. 

Studi nasional (BPS, 2023) menunjukkan bahwa kemampuan literasi dan numerasi siswa Indonesia pascapandemi justru menurun secara signifikan. 

Hal ini mengindikasikan bahwa MBG, jika tidak dibarengi dengan reformasi struktural dan dukungan pelatihan yang memadai, hanya menjadi solusi semu yang memperburuk keadaan.

Ada kesan kuat bahwa MBG lahir lebih sebagai respons populis daripada berdasarkan kebutuhan nyata di lapangan. Kita lupa bahwa manajemen sekolah seharusnya bersifat kolaboratif. 

Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved