Opini

Opini: Moderasi Beragama Bukan Cuma Damai-damaian Tapi Tanggung Jawab Yang Berdarah Daging

Di tanah seperti Sabu Raijua, di mana Kristen menjadi mayoritas mutlak, justru moderasi harus lebih dalam lagi digumulkan.

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-DOK PRIBADI
John Mozes Hendrik Wadu Neru 

Di Sabu Raijua, tantangan utama moderasi bukanlah perbedaan keyakinan antar agama, melainkan fragmentasi internal antar gereja: siapa paling awal membuka pos pelayanan? 

Siapa lebih dekat dengan aparat? Siapa menguasai struktur adat? Pertanyaan-pertanyaan ini sering menggantikan semangat kerjasama dengan mentalitas kompetisi yang justru merusak kesaksian Injil.

Moderasi bukan tentang menekan perbedaan, tapi membangun pengakuan mutual bahwa dalam keberagaman, kita dipanggil untuk menghidupi kasih Kristus yang melampaui sekat sinode dan denominasi.

Luka-Luka yang Membisu

Di balik keberagamaan yang tampak utuh, realitas Sabu Raijua menyimpan luka-luka sosial yang sering diabaikan, disapu di bawah tikar adat, atau ditutup rapat dengan doa tanpa tindakan. 

Beberapa luka berikut adalah tanda bahwa gereja belum sepenuhnya hadir sebagai penyembuh.

Pertama, Kekerasan dalam Rumah Tangga: Masih banyak perempuan mengalami kekerasan domestik yang direspons dengan saran “sabar dan berdoa”. 

Gereja seringkali menempatkan perdamaian di atas keadilan, padahal Yesus sendiri tidak kompromi terhadap ketidakadilan. 

Diamnya gereja terhadap KDRT membuat korban semakin tidak berdaya dan pelaku merasa dilindungi oleh struktur budaya maupun rohani.

Kedua, Pelecehan Seksual yang Diselesaikan Secara Adat : Pelecehan seksual terhadap anak-anak, remaja, bahkan pelayan gereja, kerap ditangani dengan mekanisme “damai adat”: bayar denda, tutup mulut. 

Ini bukan keadilan, ini penghinaan terhadap martabat korban. Gereja mestinya menjadi ruang perlindungan dan keadilan, bukan justifikasi sosial yang menyelubungi kejahatan.

Ketiga, Kemiskinan Struktural yang Dianggap Takdir Ilahi: Ketika masyarakat miskin dianggap kurang beriman, ketika kemiskinan dilabeli sebagai “rencana Tuhan”, maka kita sedang mengabaikan tanggung jawab sosial Injil. 

Kemiskinan yang bersumber dari ketimpangan distribusi, pengabaian kebijakan, dan kelumpuhan pelayanan dasar, tidak bisa dijawab dengan penghiburan rohani belaka.  Itu harus dihadapi dengan pembelaan dan perlawanan pastoral yang nyata.

Keempat, Tambang dan Ekologi yang Terkoyak : Isu rencana eksploitasi mangan di Waduwalla bukan hanya masalah lingkungan. Ia adalah luka terhadap masa depan. Gereja tidak bisa hanya menyebutnya sebagai urusan kebijakan publik. 

Dalam terang Injil, kerusakan bumi adalah persekongkolan dosa antara manusia, kekuasaan, dan sistem yang rakus. Teolog Jürgen Moltmann menyebutnya: “penderitaan ciptaan adalah penderitaan Allah sendiri.” Maka diamnya gereja adalah diamnya pengkhianatan terhadap ciptaan.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved