Opini
Opini: Toleransi
UUD 1945 Pasal 29 ayat 2, menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah sesuai kepercayaannya.
Oleh: Rm. Polikarpus Mehang Praing, Pr
Tinggal di Seminari Tinggi St. Mikhael Penfui - Kupang
POS-KUPANG.COM - Toleransi adalah kata yang didengar, digaungkan dan selalu relevan di dunia lebih khusus di Indonesia.
Kata ini dikaitkan dengan keanekaan beragama. Indonesia adalah negara yang memiliki, mengakui, menghormati dan melindungi beberapa keyakinan atau agama; Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Konghucu.
Toleransi layak dibicarakan terus-menerus. Bahkan bangsa Indonesia menghargai dan menjaga aneka budaya atau adat istiadat lainnya.
UUD 1945 Pasal 29 ayat 2, menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah sesuai kepercayaannya.
Pasal 28E UUD 1945: (1) Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat
menurut agamanya.
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Undang Undang HAM Pasal 22 menegaskan bahwa setiap orang bebas memeluk agamanya dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya.
Oleh karena itu setiap penganut agama di Indonesia, juga dalam mengekspresikan dirinya, dijamin dan dilindungi oleh negara.
Kata toleransi berasal dari bahasa Latin yaitu tolerare yang berarti menahan diri, bersikap sabar, membiarkan orang berpendapat lain dan berhati lapang terhadap orang-orang yang memiliki pendapat berbeda.
Dalam bahasa Prancis kuno menyebutnya tolerantia. Menurut John Locke (1632), filsuf dari Inggris, toleransi beragama adalah cara hidup untuk menciptakan perdamaian dan stabilitas dalam masyarakat yang beraneka-ragam.
Ia juga berpendapat bahwa negara tidak seharusnya mencampuri keyakinan agama rakyatnya, kecuali jika keyakinan tersebut mengancam keamanan negara.
Ia tekankan bahwa toleransi bukan berarti menyerahkan segalanya tetapi lebih pada pengakuan hak setiap individu untuk memiliki keyakinan sendiri.
Voltaire (1694), penulis dan sejarawan Prancis, berpendapat bahwa toleransi adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang harmonis sedangkan intoleransi adalah akar dari konflik dan perpecahan.
Tujuan mulia toleransi sering dirumuskan dan dipublikasikan dalam arahan-arahan, diskusi-diskusi atau tulisan-tulisan.
Misalnya; dengan toleransi, a). meningkatkan kerukunan dan persatuan:
membantu menciptakan hubungan yang harmonis antara umat beragama, rukun dan saling menghormati.
b). mencegah konflik dan perpecahan: perbedaan keyakinan tidak menjadi pemicu konflik atau perpecahan, tetapi menjadi kekuatan untuk saling melengkapi.
c). menciptakan lingkungan yang damai: setiap orang dapat menjalankan dan mempraktekan keberagamaannya dengan bebas tanpa halangan, ancaman atau diskriminasi.
d) mengembangkan pemahaman dan menghargai perbedaan: mendorong umat beragama untuk saling memahami dan menghargai dan menciptakan lingkungan yang ramah.
e) meningkatkan iman dan ketakwaan: adanya agama lain, umat beragama akan lebih menghayati dan memperdalam ajaran agamanya sendiri.
f). mewujudkan kehidupan yang lebih baik: setiap rakyat dapat saling membantu dan menciptakan kehidupan yang lebih harmonis.
Di sisi lain eksistensi beragama tidak terlepas dari aktifitas berpikir dan refleksi yang denganya komunitas beragama bergerak, berubah dan adaptif dengan perkembangan jaman untuk beraksi atau mengaktualkan ajaran-ajaran yang diimani.
Dunia nyata selalu berkembang, maju dan kompleks. Sulit disangkal, dengan situasi ini, setiap komunitas atau lembaga agama akan memberikan tanggapan dan tafsiran atas realita ini. Ajaran iman diberi konteks kekinian.
Namun itu tidak mengubah konsep dasar, yang melandasi pengakuan negara terhadap agama-agama, bahwa lembaga atau komunitas agama adalah sumber ajaran yang baik, benar, toleran serta memperjuangkan bonum commune bagi umat manusia.
Tidak kompromi dan harus menolak serta meluruskan berbagai macam penyesatan, kesesatan atau kepalsuan ajaran, seperti arahan untuk saling membenci, bermusuhan dan saling membunuh.
Oleh karena itu fenomena – fenomena pembinaan, diskusi, debat atau saling kritik yang sehat dan konstruktif antar agama atau ajaran-ajaran, baik di ruang kelas atau melalui media sosial, adalah moment untuk belajar dan mencari kebenaran.
Kebenaran-kebenaran ajaran, dalam konteks tertentu, bisa dtemukan lewat diskusi dan kritik atau ketika mampu dipertanggungjawabkan secara rasional.
Dipercaya dan diterima karena masuk akal. Dengan perkembangan teknologi atau media digital saat ini, belajar atau mencari kebenaran, bukan hal sulit.
Setiap orang, lewat sajian media digital, bisa melihat, mengikuti dan mendengarkan dengan bebas dan jelas konsep-konsep, sejarah, tafsiran- tafsiran, pengajaran-pengajaran, ilmu-ilmu dan pratik-praktik iman semua agama atau keyakinan tanpa kecuali.
Toleransi karena fakta keanekaan agama perlu studi atau belajar. Dr. Norbert Jegalus, dalam "Toleransi dan Perjumpaan Agama-Agama Dalam Perspektif Katolik 2018," mengatakan toleransi dalam arti yang benar justru baru terjadi kalau ada ketidaksamaan atau ada perbedaan yang benar-benar unik yang satu dengan yang lain. Toleransi disalahpahami kalau dianggap sebagai penyamaan.
Mengakui dan menghormati enam agama, sebagai bangsa dan negara Indonesia, secara prinsipil, terimplisit pengakuan bahwa semua agama memiliki, mengajarkan dan mempratikkan yang baik, benar dan mulia bagi manusia.
Jadi, demi membangun fondasi toleransi, setiap warga negara, dengan identitas pluralis, perlu belajar memahami dan mengerti isi ajaran mulia setiap agama.
Dengan kata lain, setiap warga terbuka melihat, mendengar dan mempelajari aspek-aspek hidup enam komunitas agama di Indonesia.
Tidak bisa mempertahankan eksklusivisme dalam fakta keberagaman yang ada.
Dengan itu, atas fakta pengakuan bahwa kita berbeda, mengarahkan warga untuk bijaksana dan berjuang menciptakan lingkungan yang harmonis. Atau kehormatan sebagai bangsa Indonesia ketika ada keharmonisan dan damai dalam perbedaan.
Mengaplikasikan amanat UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, adalah prioritas.
Belajar demi menemukan kebenaran dalam pluralitas, adalah fondasi kuat untuk menegakkan toleransi.
Hal itu bisa terjadi melalui pendidikan, baik formal maupun non-formal, bersama orang lain maupun belajar otodidak.
Toleransi, pada tataran ideal, merupakan langkah berat bila masyarakat memiliki Sumber Daya Manusia yang rendah.
Penegakan sikap toleransi ada dan hidup bila diimbangi kemampuan berpikir atau bernalar, pengetahuan yang luas dan bijaksana.
SDM yang rendah bisa memandang perbedaan-perbedaan sebagai skandal bahkan ancaman hingga menciptakan kebencian dan permusuhan satu dengan yang lain. Akan ada asumsi-asumsi atau tafsiran-tafsiran pribadi yang keliru atau tanpa dasar yang benar.
Dengan SDM yang baik; kaya, kritis dan bijaksana, akan memandang perbedaan sebagai kekayaan, tempat berbagi, tumbuh dan berkembang hingga menemukan kebenaran.
Juga membantu warga untuk tidak tersesat manakala perbedaan-perbedaan dipolitisasi demi kepentingan orang atau kelompok tertentu atau menciptakan diskriminasi dan ekstrimisme dalam berbangsa dan bernegara.
Menumbuhkembangkan sikap toleransi dalam konteks Indonesia perlu diperjuangkan terus.
Pemerintah dan pemimpin-pemimpin di setiap agama, sabagai penentu arah berbangsa dan guru, tetap membentuk dasar dan memujudkan toleransi beragama, seperti; 1) Memiliki waktu studi, mensosialisasikan dan membanggakan warga tentang nilai-nilai mulia dari setiap agama.
2) Mengawasi dan melindungi warga negara dalam mengekpresikan hidup keagamaannya. 3). Menjadi contoh hidup dalam kata dan perbuatan untuk toleran dengan sesama.
4). Menanamkan dan mengembangkan dunia pendidikan formal maupun non-formal dengan ilmu agama-agama serta sikap toleransi di setiap jenjang. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.