Opini

Opini: Saya Tak Bisa Mengubah Asal-Usulku

Dari lingkungan asal-usul sosialnya orang bisa mengenal bagaimana orang berkomunikasi dan mengenal jenis makanan yang dikonsumsi. 

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Gabriel Adur 

Oleh: Gabriel Adur
Bekerja di Keuskupan Agung Muenchen-Freising, Jerman

POS-KUPANG.COM - Tak satu pun dari kita bisa menentukan di lingkungan sosial mana kita dilahirkan. 

Jika setiap orang bisa menentukannya sudah pasti setiap orang ingin dilahirkan di daerah dan lingkungan kaya dan makmur.

Kekayaan dan kemakmuran memberi peluang dan kesempatan untuk berkembang dan juga meringankan hidup. 

Di sisi lain, lingkungan miskin akan membatasi kesempatan dan peluang untuk berkembang?

Asal-Usul Sosial

Situasi sosial dan kompleksitas persoalan di mana orang bertumbuh memiliki pengaruh besar untuk masa depannya. 

Hal ini tidak hanya terbatas pada persoalan kebutuhan material seperti keuangan, sandang, pangan dan papan tetapi juga dalam bidang tehnik, pendidikan dan budaya.

Konkretnya seperti apa lingkungan sosial tempat kita bertumbuh: di gubuk bambu, di rumah mewah, apa status dan pekerjaan orang tua. 

Apakah orang tuamu kaya atau tidak. Semua ini kita sebut sebagai asal-usul sosial seseorang.

Dari lingkungan asal-usul sosialnya orang bisa mengenal bagaimana orang berkomunikasi dan mengenal jenis makanan yang dikonsumsi. 

Kemampuan literasi dan aspek-aspek penting seperti musik, olah raga dan jaminan kesehatan juga akan ditentukannya. Begitu pun akses informasi dan jaringan sosial.

Saya Tak Bisa Mengubah Asal-Usulku

Kata-kata ini lahir dari refleksi seorang penulis berketurunan Bosnia Herzegowina, Sasa Stanisic dalam Novelnya: Asal-usul (Herkunft 2019). 

Dalam novel-biografinya Stanisic menulis tentang perjalanan hidup dan perjuangan keluarga keluar dari visegard -Bosnia.

Mereka harus meninggalkan segala harta kekayaannya karena perang. Mereka mengungsi ke Heidelberg, Jerman

Kisah hidup keluarga migran yang bekerja secara ilegal dengan keterbatasan kemampuan bahasa orang tuanya.

Menjawabi pertanyaan tentang stigmatisasi sosial dalam masyarakat yang memandang kaum migran sebagai sebuah persoalan sosial- negara Stanisik menjawabnya dengan kata "Tidak".

Menurutnya: asal-usul seseorang bukanlah sebuah persoalan. Menjadi persoalan sosial, ekonomi dan politik sebuah masyarakat atau negara ketika asal-asal sosial seseorang dijadikan kambing hitam untuk menentukan sukses tidaknya seseorang dalam masyarakat.

Sistem yang menjadikan asal-usul seseorang sebagai tameng untuk diterima di sekolah, perguruan tinggi dan di tempat kerja atau tidak itu yang bermasalah. Sistem seperti ini akan menyuburkan rasisme dalam kehidupan sosial.

Klasisme Sosial: Akar Dari Rasismus

Ketika asal-usul seseorang dijadikan faktor dalam menentukan seseorang bisa sekolah, bisa hidup sehat, bisa keluar dari kemiskinan dan juga diterima dalam lingkungan kerja baik di instansi-instansi pemerintahan atau di perusahaan-perusahaan akan ada pemisahan sosial.

Anak-anak dari keluarga miskin tidak bisa mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi elit. 

Bukan karena mereka bodoh tapi karena mereka tidak bisa membiayai pendidikan mahal.

Jurusan-jurusan seperti Arsitektur, Kedokteran dan Tehnik di berbagai universitas sepertinya sudah terkonstruksi sedemikian rupa dengan biaya perkuliahan yang tak terjangkau oleh orang-orang miskin menjadikan jurusan seperti ini didominasi oleh anak-anak dari orang kaya. 

Secara intelektual bukan karena mereka pintar tapi karena mereka dipermudah secara finansial apalagi dengan sistem universitas yang korup.

Sistem perekrutan tenaga-tenaga kerja dengan melibatkan unsur SARA ( seperti yang lazim terjadi di Indonesia ) bisa saja menutup kemungkinan bagi orang-orang tak seagama, bukan dari keluarga dan ras yang sama untuk mendapatkan pekerjaan yang sama. 

Bukan karena mereka tak memiliki kualifikasi dan skill sebagai persyaratan penerimaan kerja, tapi mereka didiskualifikasi secara sosial.

Diskriminasi karena asal-usul sosial seseorang bagi Matthew Desmond merupakan sebuah sistem yang menimbulkan ketidakadilan tanpa menciptakan ruang-ruang sosial yang memberikan peluang kepada setiap warga masyarakat untuk mendapat kesempatan yang sama untuk sebuah kebaikan bersama atau bonum commune (Evicted: Poverty and Profit in the American, City 2016).

Dalam bukunya Desmond memaparkan situasi orang-orang miskin di Milwaukee-Wisconsin.

Mereka hidup dalam kemiskinan sebagai korban dari konstruksi rasisme sosial di Amerika.

Puncak dari keterpurukan hidup mereka secara sosial ketika mereka tidak lagi bisa membiayai hidup mereka saat krisis keuangan melanda dunia dan Amerika tahun 2007-2008 terjadi.

Diskriminasi sosial menjadikan kelompok, suku, Agama dan ras tertentu hidup dalam kemakmuran dan kesejahteraan. 

Di sisi lain, korban dari diskrimnasi sosial akan hidup dalam kemiskinan. Kemiskinan membuat mereka tak bisa keluar dari rantai penderitaan (Gustavo Gutiérrez: "Teología de la liberación/ Teologi Pembebasan).

Peraih Hadiah Nobel Abhijit V. Banerjee dan Esther Duflo secara kritis melihat klasisme sosial dalam perspektif ekonomi. 

Pemisahan masyarakat karena asal usul sosial mereka menciptakan diskriminasi secara ekonomi pula.

Bagi mereka, kemiskinan, adalah bentuk dari konstruksi sosial dan perlu sebuah rekonstruksi sosial konstruktif untuk mengatasi persoalan global ini ( Abhijit V. Banerjee and Esther Duflo Poor Economics: A Radical Rethinking of the Way to Fight Global Poverty 2011). 

Kita membutuhkan konstruksi sosial yang memberi ruang-konstruktif pula untuk orang miskin bisa memerangi, paling tidak, meminimalisir kemiskinan itu sendiri. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved