Opini
Opini: Republik, Tupai dan Lex Mercatoria
Selebihnya merah-putih hanya jadi simbol-simbol kaku yang jauh dari semangat revolusi anti kolonialisme dan anti imperialisme.
Oleh: Dominggus Elcid Li
Sosiolog, peneliti IRGSC (Institute of Resource Governance and Social Change) Kupang - NTT
POS-KUPANG.COM - Pekik Merdeka yang seharusnya lantang disuarakan, kini semakin sayup terdengar. Nasionalisme populer hanya laku dalam sepakbola. Merah-putih hanya jadi tontonan.
Selebihnya merah-putih hanya simbol-simbol kaku yang jauh dari semangat revolusi anti kolonialisme dan anti imperialisme.
Kok bisa di tahun 2025, dan belum lagi satu abad, roh orang merdeka seakan hilang dari wajah para elit?
Pertanyaan ini mengganggu banyak kalangan. Sudah pasti kalangan TNI yang patriotik nada getirnya juga sama dengan para aktivis masyarakat sipil yang gamang karena proses bernegara kita kembali ke titik gamang.
Gamang adalah ungkapan kekecewaan terhadap tidak berfungsinya berbagai lembaga negara menghasilkan kebijakan publik terbaik, sebaliknya memalukan kita secara kolektif.
Di era modern, kaum terdidik bukan menjadi pionir dalam bernegara, jauh sebelum Boedi Oetomo, elit pribumi terdidik ada dalam organisasi modern KNIL. Ya, serdadu.
Kaum terdidik hanya menjadi provokator utama anti kolonial, maupun negosiator utama dalam perundingan transisi awal di era dekolonisasi, berhadapan dengan pemerintah Belanda, Inggris, AS, serta sekian korporasi multinasional yang beroperasi di Hindia Belanda sejak abad ke-18.
Peran elit pemikir makin berkurang di era Soeharto. Sejak itu tentara mendapatkan panggung utama hingga hari ini.
Namun ini bukan semata soal tentara vs sipil, seperti salah kira yang pernah dibayangkan tahun 1990an, bahwa dikotomi sipil-militer akan berdampak banyak pada model pengelolaan negara.
Setelah satu generasi berlalu kita juga maklum tentara yang korup tidak ada bedanya dengan sipil yang rakus.
Urusan elit lapar ini tidak ada bedanya antara tentara, polisi, sipil, kaum beragama, pedagang tulen, atau profesional terdidik. Rakus ya, rakus tidak pandang bulu, ras, agama, dan etnis.
Efisiensi anggaran dari Presiden Prabowo gaungnya belum senada dengan gerak pemberantasan korupsi. Terlihat Presiden gamang memberantas korupsi di tubuh anggota Koalisi Merah Putih.
Budaya lama dalam rombongan gerbong politik sulit dihilangkan begitu saja dengan seruan atau ancaman. Kanker ganas korupsi yang melilit para elit saat ini adalah alasan keberadaan para elit sendiri.
Ibarat kata seruan anti korupsi adalah seruan melakukan amputasi kekuasaan politik itu sendiri.
Inti elit negara kini teramat keropos. Kelihatan ada pada saat upacara kenegaraan, tetapi apa yang disebut negara itu semakin kehilangan makna.
Gerak berpolitik, tanpa diimbangi disiplin berpikir telah membuat seluruh proses bernegara diseret proses bernegosiasi dalam sekian rantai kekuasaan.
Akibatnya alat-alat negara yang dikuasai oleh para pemenang Pemilu leluasa dipakai sebagai alat bancakan.
Salah urus negara terjadi sekian lama, dan pembusukan telah terjadi hingga jenjang elit inti (core elites) negara.
Jenjang kaderisasi menghasilkan inti elit negara dibiarkan longgar sedemikian rupa, sehingga pejabat terpilih hanya didasarkan pada garis primordial atau yang mempunyai loyalitas buta. Ini berbeda sekali dengan cita-cita republik.
Dalam rentang 80 tahun berbagai cara diupayakan untuk mempertahankan narasi republik. Salah satu muncul lewat jargon NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
NKRI hanya muncul untuk mencegah pemberontakan, tetapi tidak dipakai untuk memberantas koruptor dan penyeleweng negara.
Kekalahan sistem negara
Lebih buruk lagi, pandangan kritis kerap kali gampang diasosiasikan sebagai pandangan asing. Ini kurang berguna. Entah salah di mana? Kenapa kemampuan telik sandi kita makin tumpul berbicara soal isu strategis.
Ketidakmampuan membedakan watak organisasi, jejaring, dan tingkatan kepentingan kenapa masih sama dengan pola 30 tahun silam, atau 60 tahun silam? Kita selalu kalah tiba-tiba, tanpa ada penjelasan memadai. Entah era Soekarno, entah era Soeharto.
Kelemahan yang tidak dikenali para elit pejabat, sesungguhnya merupakan ancaman terbesar. Telik sandi yang tidak awas terhadap keamanan negara, merupakan ancaman luar biasa terhadap negara.
Saat ini ruang kritik makin hari sudah makin sempit. Yang mampu berbicara apa adanya cuma hitungan jari. Padahal, kritik amat dibutuhkan untuk mempertahankan negara.
Dalam analisis risiko ini sangat berbahaya. Tahun 1965 dan 1998 adalah dua tanda zaman yang wajib diingat.
Ini bukan soal aktor, sehingga analisis proxy bisa dikemukakan, tetapi terkait sistem negara yang tidak berfungsi, atau menjadi asing terhadap warga negaranya atau dalam kondisi error mode. Potensi ini mudah dieskploitasi dan dieskalasi siapa pun.
Krisis dalam sistem global membuat seluruh negara sedang bergerak berdasarkan kepentingan nasionalnya masing-masing. Pertanyaan-pertanyaan kritis sudah seharusnya dijawab di level dialog kenegaraan. Kritik substansif seharusnya tidak dijawab dengan propaganda.
Sebab, sekali lagi, kritik tidak ditujukan tentang siapa yang berkuasa yang durasinya 5 atau 10 tahun, tetapi kritik dalam konteks bangunan kenegaraan (statecraft) itu menyangkut keberadaan negara itu sendiri.
Tanggungjawab utama kepala negara menghadirkan keadilan sosial untuk seluruh warga negaranya. Bagaimana sistem kompleks itu didesain agar penentu haluan negara tidak salah langkah merupakan persoalan bersama.
Dalam tingkat dasar, apa yang menjadi pedoman gerak para elit, tidak boleh berbeda dengan pedoman yang berlaku pada rakyatnya. Hanya dengan begitu para pemimpin dan pimpinan mendapatkan legitimasi yang dibutuhkan untuk memerintah, dan menjalankan pemerintahan.
Indonesia membutuhkan pemimpin-pemimpin yang visioner, dan mempunyai disiplin diri. Gerak kita sebagai sebuah bangsa tidak boleh keliru, terutama karena dalam situasi perang dagang global, kesalahan yang dibuat sendiri adalah malapetaka kolektif.
Refleksi terhadap kekalahan rakyat dalam bernegara perlu menjadi bagian dari motif kekuasaan politik.
Kebijakan pengetatan anggaran di segala lini, tidak mungkin ada efeknya jika korupsi dibiarkan. Termasuk proyek-proyek atas nama negara yang marak dan dibuat tanpa melibatkan akal sehat.
Saat ini terasa arus berlawanan dalam tubuh Kabinet Merah Putih sendiri yang membuat lokomotif berjalan di tempat. Presiden berujar tindak tegas koruptor.
Menteri berbicara korupsi hanya bisa dikurangi, dan bukan diberantas tuntas. Bagaimana memurnikan Koalisi Merah Putih, sebagai lokomotif anti korupsi merupakan pertanyaan utama.
Posisi patriot harus terus dimunculkan, dan watak predator pemangsa dihilangkan. Posisi ambivalen tidak mungkin diteruskan, jika ingin bergerak. Syaratnya, watak itu perlu diterjemahkan dalam gerak politik terukur.
Evaluasi berkala dari segala lini dalam konteks mempertahankan negara wajib diberi ruang. Sudah saatnya ruang kritis tidak dikendalikan oleh mesin bots, influencers, dan permainan algoritma internet.
Blunder orang kaya pemilik aplikasi komunikasi global, seperti Elon Musk dan Mark Zuckerberg, menjadi pengingat bahwa ruang kritis tidak dipertahankan dalam era masyarakat jaringan global (global network society).
Di balik ilusi algoritma tetap tertinggal naluri kekuasaan yang tidak pernah simetris, dan menyatu dengan kembalinya era natural law (hukum alam), dimana yang lemah senantiasa dibenarkan menjadi mangsa bagi yang kuat.
Era neo kolonialisme global baru sedang muncul, dan sayangnya itu tidak kita kenali.Jika varian baru neo kolonialisme global ini tidak dikenali, negara mudah dibajak. Untuk membentengi negara, kajian kritis terhadap seluruh legislasi dan produk turunannya perlu dicermati sungguh.
Hari-hari ini upaya membaca ulang jargon NKRI, perlu dibedakan dalam dua tataran, jika kita boleh meminjam beberapa terminologi era Romawi klasik, untuk meminjam perbedaan pengertian antara imperium dan potestas.
Imperium menandai kekuasaan militer, sementara potestas menandai otoritas hukum.
Persoalan mendasar di NKRI saat ini superioritas hukum dagang, menyatu dengan kuasa militer (polisi, tentara, bahkan milisi dalam bentuk ormas), sedangkan posisi para penegak hukum ada dalam tawanan pedagang yang simptomnya terbaca sebagai korupsi.
Celakanya, pilihan mengembangkan imperium dengan mengembangkan komando teritorial maupun unit kepolisian di berbagai wilayah, dan mengabaikan perbaikan potestas,juga membiarkan Lex Mercatoria (Hukum Dagang) mengganti seluruh sendi-sendi dasar Hukum Negara (Staastrecht) telah membuat orang merdeka hilang.
Ditambah sistem perwakilan yang telah tunduk pada hukum dagang, dan hanya bisa diakses oleh mereka yang mempunyai kemampuan keuangan, membuat struktur Republik Indonesia terasa sangat rapuh. Secara khusus, krisis telah menyentuh wilayah imperium, tempat bersandar republik dalam 80 tahun ini.
Meskipun paradoks ini bisa dimengerti, mungkin kita tidak cukup waktu mempersiapkan diri menghadapi krisis.
Sejauhmana masa depan republik dapat bertahan dihadapan kala (waktu) mungkin bukan pertanyaan tepat, tetapi seharusnya kita belajar untuk mengingat bahwa Indonesia lahir dari perang sekian kekuatan imperialis dalam Perang Dunia Kedua (Belanda, Jepang, AS dan Inggris).
Mungkin jika kita mampu belajar mengingat sejarah kelahiran, maka garis pertahanan Republik Indonesia bisa dipikirkan lebih baik, dan tidak terjebak dengan arus neo kolonialisme global lewat Lex Mercatoria yang masuk lewat berbagai pintu, tanpa menyisakan kedaulatan untuk rakyat.
Keberanian Presiden Prabowo ambil langkah strategis memecah kebuntuan bernegara ditunggu, terutama memutuskan kenyataan politik bahwa dalam 80 tahun bernegara, elit Indonesia nasibnya selalu seperti tupai. Tidak pandai, dan jatuh di lubang yang sama.
Salah dan kalah, ketika berhadapan dengan situasi baru. Khususnya ketika hak asasi manusia (droits de l'homme) semakin kehilangan makna (di Ukraina, Palestina, dan Papua), dan pada saat yang sama seluruh retorika pemimpin kemerdekaan Indonesia basisnya adalah kemanusiaan yang adil dan beradab. Paradoks ini perlu diselesaikan. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.