Opini

Opini: Aktualisasi Ajakan Tan Malaka dari Mitos Menuju Logos

Ia berpendapat bahwa mitos dapat membelenggu nalar kolektif, sehingga menghambat perkembangan bangsa. 

Editor: Dion DB Putra
KOMPASIANA
Tan Malaka. 

 Oleh: Yohanes Nahak
Mahasiswa Fakultas Filsafat, Tinggal di Seminari Tinggi St. Mikhael Kupang

POS-KUPANG.COM - Di tengah masyarakat yang masih terperangkap dalam bayang-bayang mitos, baik dalam aspek religius, politik, maupun budaya, peran nalar menjadi semakin krusial. 

Meskipun masyarakat terus maju secara teknologi, cara berpikir yang irasional dan berakar pada mitos masih sering ditemukan. 

Mitos mewujud dalam bentuk kepercayaan yang tidak teruji, tradisi yang tidak boleh dipertanyakan, dan klaim sakral yang kebal terhadap kritik.

Tan Malaka dikenal sebagai salah satu pemikir revolusioner paling tajam yang secara konsisten mengkritik cara berpikir masyarakat Indonesia yang masih didominasi oleh mitos dan hal-hal gaib. 

Ia berpendapat bahwa mitos dapat membelenggu nalar kolektif, sehingga menghambat perkembangan bangsa. 

Kepercayaan yang terus-menerus pada hal-hal irasional dan pengagungan hal-hal yang tidak masuk akal dapat menyebabkan degradasi pemikiran masyarakat. 

Oleh karena itu, Tan Malaka menekankan pentingnya mengubah cara berpikir irasional yang berorientasi pada hal-hal gaib. 

Cara berpikir semacam ini dianggap dapat menghambat perkembangan pemikiran rasional, bahkan berpotensi berdampak negatif pada generasi mendatang dalam hal kemajuan pola pikir anak-anak.

Tan Malaka, yang memiliki nama lengkap Ibrahim Datuk Sutan Malaka (2 Juni 1897 – 21 Februari 1949), dikenal sebagai sosok revolusioner dalam tindakan dan radikal dalam pemikirannya. 

Beliau adalah seorang guru, Marxis, pendiri Persatuan Perjuangan dan Partai Murba, serta seorang gerilyawan, mata-mata, pejuang, dan pahlawan nasional Indonesia. Bahkan, majalah Tempo memberinya gelar 'Bapak Republik Indonesia'. 

Selain perannya dalam penggerakan kemerdekaan, Tan Malaka juga merupakan penggagas penting pendidikan kritis. 

Dalam bukunya, Madilog, Tan Malaka secara komprehensif mengkritik pola pikir masyarakat yang irasional atau mistik. 

Baginya, cara berpikir yang tidak masuk akal dan kepercayaan pada hal-hal gaib adalah penghambat kemajuan bangsa. 

Ia meyakini bahwa jika masyarakat mampu berpikir lurus, rasional, dan tidak lagi terbelenggu oleh hal-hal gaib, maka pola pikir mereka akan menjadi sangat progresif, memungkinkan penyelesaian masalah secara logis tanpa bergantung pada mistisisme.

Tan Malaka mengeritik bahwa cara berpikir masyarakat masih terjebak dalam mistisisme, takhayul, dan kepercayaan irasional. 

Ia mendefinisikan mitos sebagai cara tradisional yang berkembang dalam budaya atau masyarakat tertentu, yang umumnya berkaitan dengan asal-usul manusia, kepercayaan terhadap leluhur, dewa-dewi, dan hal-hal yang dianggap sakral. 

Mitos seringkali berfungsi untuk menjelaskan fenomena yang tidak dapat dijelaskan secara logis, seperti kepercayaan akan roh orang mati yang tidak tenang. 

Namun, mitos tidak hanya terbatas pada hal-hal spiritual; ia juga dapat ditemukan dalam ranah politik, seperti mitos 'pemimpin berdarah biru' yang diyakini memiliki karisma kuat dan pantas memimpin. 

Lebih dari sekadar cerita rakyat, mitos dapat menjadi alat kekuasaan yang membuat masyarakat mematuhinya tanpa berpikir rasional. 

Nilai-nilai budaya yang berkembang dalam masyarakat tertentu dapat memperkuat kepatuhan ini. 

Bagi Tan Malaka, mitos semacam ini adalah penghambat perkembangan cara berpikir masyarakat, karena masyarakat menjadi tidak kritis terhadap asal-usul dan konsekuensi mitos tersebut, yang berujung pada kebodohan.

Sebagai seorang pemikir revolusioner, Tan Malaka sangat meyakini kekuatan pemikiran logis dan masuk akal. 

Menurutnya, pendidikan adalah alat pembebas utama yang mampu mengubah cara berpikir masyarakat. 

Ia melihat adanya pengaruh filsafat Barat yang mendasari pemikiran kritis, di mana pendidikan dapat melatih akal seseorang untuk berpikir kritis. 

Tan Malaka adalah pemikir sistematis yang percaya bahwa pendidikan kritis adalah alat emansipasi yang paling ampuh, khususnya dalam melawan dogmatisme dan takhayul. 

Melalui Madilog, ia menawarkan perubahan cara berpikir masyarakat dari mistik menjadi ilmiah. 

Baginya, rasionalitas bukan sekadar teori, melainkan sebuah alat revolusi. 

Madilog sendiri tidak hanya sebuah buku filsafat, tetapi juga sebuah manifesto pemikiran bebas dan alat analisis terhadap kenyataan. 

Tan Malaka mengajak masyarakat untuk mengubah cara berpikir dari yang berbasis mitos menjadi analitis, mengganti keyakinan buta dengan pengetahuan. 

Dengan pengaruh kuat dari filsafat Barat, Tan Malaka berharap pola pikir masyarakat Indonesia dapat berubah ke arah yang lebih rasional.

Relevansi pemikiran Tan Malaka sangat terasa di era kini, khususnya dalam konteks pendidikan logika. Meskipun karya-karyanya ditulis sudah lama, pemikiran Tan Malaka tetap relevan hingga saat ini. 

Banyak individu masih mudah terpengaruh mitos dan lebih mempercayainya dibandingkan fakta atau data yang dapat dibuktikan. 

Ironisnya, meskipun sekolah telah menerapkan pendidikan logika, pengajaran berpikir kritis belum sepenuhnya optimal dan pelajaran filsafat masih jarang tersentuh. 

Dalam situasi seperti inilah warisan pemikiran Tan Malaka perlu dihidupkan kembali. 

Ia mengingatkan kita akan esensi kebebasan, bukan hanya bebas dari penjajahan fisik, tetapi juga bebas dalam berpikir. 

Tan Malaka memahami bahwa senjata paling ampuh untuk melawan mitos adalah berpikir kritis. Melalui Madilog, ia memberikan kita alat untuk membongkar mitos dan membangun nalar. 

Ia mengajarkan bahwa berpikir adalah tindakan revolusioner dan kemerdekaan sejati adalah kebebasan dari pikiran irasional. 

Oleh karena itu, di tengah kemajuan zaman yang pesat ini, ajakan Tan Malaka untuk berpikir kritis menjadi semakin penting. 

Penting bagi kita untuk membangun bangsa ini dengan menggunakan akal sehat dan secara bertahap meninggalkan hal-hal yang tidak masuk akal.

Tan Malaka memahami bahwa senjata paling ampuh untuk melawan mitos adalah dengan berpikir kritis. 

Dalam madilog Tan Malaka memberi kita alat untuk membongkar mitos dan membangun nalar. 

Ia mengajarkan bahwa berpikir adalah tindakan revolusioner dan bahwa kemerdekaan sejadi adalah bebas dari pikiran-pikiran irasional dan mulai mempercayai hal yang dapat dibuktikan dengan data bukan hal yang tidak ada.

Maka, di tengah zaman penuh dengan perkembangan ini, ajakan Tan Malaka untuk berpikir kritis menjadi semakin penting. 

Marilah kita membangun bangsa ini dengan menggunakan akal sehat dan mulailah perlahan-lahan meninggalkan hal-hal yang tidak masuk akal. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved