Opini

Opini: Pancasila yang Hilang di Lahan NTT

Setiap 1 Juni, Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila dengan tema "Memperkokoh Ideologi Pancasila Menuju Indonesia Raya". 

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Inosensius Enryco Mokos 

Menyatukan Pancasila dan Praktik Agraria Berkeadilan

Untuk merajut kembali benang kusut kebijakan lahan di NTT, solusi harus dimulai dari restorasi hak musyawarah masyarakat adat sebagai jantung Sila ke-4. 

Pemerintah harus mulai melihat dampak-dampak buruk jangka panjang yang akan terjadi ketika inkonsistensi semangat kepemimpinan diabaikan dan masyarakat akan semakin terpinggirkan yang tentu akan mengancam semangat persatuan dalam diri setiap orang NTT. 

Di lain sisi, ada beberapa solusi strategis yang dapat dianjurkan untuk dilakukan. Pertama, rekonstruksi kebijakan berbasis musyawarah substansial dengan cara memperkuat pengadilan adat. 

Beri ruang bagi penyelesaian konflik berbasis hukum adat, seperti diusulkan DPRD NTT dalam kasus Pubabu. Reforma Agraria Partisipatif penting untuk dilakukan.

Program redistribusi tanah harus melibatkan masyarakat sejak hulu, termasuk verifikasi klaim adat dan audit kepemilikan lahan.

Kedua, pemberdayaan ekonomi dan teknologi ramah lingkungan. Smart farming dengan cara mencontohi konsep irigasi tetes di Lanud El Tari (Kupang) terbukti meningkatkan produktivitas jagung di lahan kering. 

Model ini bisa direplikasi untuk mengurangi ketergantungan pada lahan subur yang rawan konflik. Di lain sisi perlu untuk melakukan kemitraan adil. Proyek pariwisata dan energi harus melibatkan masyarakat sebagai pemegang saham, bukan sekadar pekerja.

Ketiga, pengawasan multi stakeholder dan penegakan hukum dengan cara membentuk Satuan Tugas Konflik Agraria. 

Bentuk tim independen (perwakilan masyarakat, akademisi, LSM) untuk memantau implementasi musyawarah. Perlu memberikan Sanksi bagi Pelanggar.

Pemerintah pusat harus mencabut izin proyek yang mengabaikan proses konsultasi publik.

Di atas tanah NTT yang subur dan makmur, peringatan Hari Lahir Pancasila setiap 1 Juni tak boleh lagi menjadi ritual kosong. 

Keadilan agraria adalah ujian nyata kesetiaan kita pada Sila ke-4: demokrasi musyawarah hanya bermakna ketika suara petani di Pubabu, nelayan di Poco Leok, dan penenun di Sikka didengar sebagai penentu kebijakan—bakiak sekadar objek pembangunan. 

Jika negara konsisten menjadikan Pancasila sebagai philosofische grondslag, maka kebijakan lahan harus lahir dari ruang permufakatan yang setara—bukan dari paksaansertifikat atau kekuatan senapan. 

Seperti diingatkan Bung Karno pada 1945, "Indonesia bukan milik satu golongan, tetapi milik semua buat semua" — sebuah prinsip yang harus direfleksikan dalam kembalinya kedaulatan masyarakat atas tanah leluhur. 

Pilihan kini jelas:biarkan tanah NTT tetap menjadi medan perang bagi modal dan kekuasaan, atau jadikan ia bukti hidup bahwa musyawarah mufakat mampu melahirkan keadilan. 

Esensi Pancasila bukan pada upacara, tetapi pada keberanian membongkar paradoks antara janji agung dan pengkhianatan sunyi di lapangan. Semoga! (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved