Opini
Opini: Pancasila yang Hilang di Lahan NTT
Setiap 1 Juni, Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila dengan tema "Memperkokoh Ideologi Pancasila Menuju Indonesia Raya".
Oleh: Inosensius Enryco Mokos
Dosen Ilmu Komunikasi ISBI Bandung, Jawa Barat
POS-KUPANG.COM - Setiap 1 Juni, bangsa Indonesia serempak merayakan Hari Lahir Pancasila dengan gegap gempita retorika tentang persatuan dan keadilan.
Namun dibalik kemeriahan itu, tersembunyi pertanyaan mendasar yang menggelisahkan: sejauh manakah nyala Pancasila—khususnya Sila ke-4 yang menjunjung tinggi musyawarah mufakat—benar-benar menyinari praktik penyelesaian konflik lahan di Nusa Tenggara Timur?
Ketika proyek pertambangan di Nagekeo, perkebunan di Timor Tengah Selatan, dan pariwisata di Manggarai Barat justru mengorbankan hak hidup masyarakat adat lewat kebijakan top-down, bukankah kita sedang menyaksikan pengkhianatan terhadap roh demokrasi musyawarah itu sendiri?
Esai ini menguak ironi pahit antara janji agung Pancasila dan realitas di lapangan: mengapa kebijakan lahan di NTT kerap mengabaikan partisipasi publik, memicu pemiskinan struktural, dan mengubah tanah leluhur menjadi medan perang—serta bagaimana mengembalikan marwah musyawarah sebagai solusi berkeadilan.
Konflik Lahan di NTT: Potret Pengingkaran Musyawarah
Setiap 1 Juni, Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila dengan tema "Memperkokoh Ideologi Pancasila Menuju Indonesia Raya".
Namun, di balik retorika pemersatu ini, Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi saksi bisu inkonsistensi antara nilai-nilai Pancasila—khususnya Sila ke-4 (Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan)—dengan praktik kebijakan lahan yang represif dan timpang.
Konflik agraria yang melibatkan proyek pertambangan, perkebunan, dan pariwisata di wilayah ini tidak hanya mengorbankan hak masyarakat adat, tetapi juga membongkar paradoks demokrasi musyawarah yang hanya menjadi simbol belaka.
Kenyataan yang parah dan mengkhawatirkan itu dapat kita lihat bersama dalam beberapa kasus yang cukup menggemparkan rasa kemanusian terutama mematikan pandangan hidup masyarakat NTT yang memegang teguh sikap saling mendengarkan satu sama lain.
Kasus proyek panas bumi Poco Leok (Manggarai) didorong tanpa persetujuan masyarakat. Aparat keamanan melakukan intimidasi, survei paksa, dan kekerasan untuk membungkam penolakan warga yang khawatir kehilangan mata pencaharian sebagai petani.
Di Bowosie (Manggarai Barat), proyek ekowisata mengancam keberadaan warga lokal. Tanah adat disusutkan paksa, memicu konflik struktural. Sementara di Sumba, petani Poro Duka tewas saat mempertahankan tanah dari perampasan untuk pembangunan hotel.
Sengketa lahan Pubabu-Besipae (Timor Tengah Selatan) berlarut sejak 1982. Pemprov NTT menerbitkan Sertifikat Hak Pakai atas 3.780 hektar hutan adat, lalu menggusur warga lima kali (2020–2022).
Pengaduan ke Polda NTT mandek, dan tim mediasi pemerintah tak kunjung turun ke lapangan.
Kebijakan lahan yang mengabaikan prinsip musyawarah dan mengedepankan keputusan sepihak tidak hanya merusak tatanan sosial, tetapi menghantam langsung hajat hidup masyarakat.
Berikut dampak riil yang dirasakan warga. Pertama, kehilangan sumber penghidupan mendasar. Petani dan nelayan tradisional menderita.
Proyek pertambangan (seperti di Poco Leok) atau perkebunan skala besar merampas lahan pertanian produktif dan wilayah tangkap nelayan.
Akibatnya kelaparan akut terjadi. 78 persen keluarga petani di Manggarai kehilangan 70 persen hasil panen setelah alih fungsi lahan, memicu ketergantungan pada beras impor (BPS NTT, 2023). Dampak lain yaitu utang tidak terkelola.
Masyarakat terpaksa beralih jadi buruh harian dengan upah Rp 25.000–35.000/hari tak cukup menutupi kebutuhan dasar, memaksa pinjaman rentenir (bunga 20 persen/bulan).
Kedua, kerusakan lingkungan yang langsung mengancam kesehatan. Polusi air dan udara akan terjadi.
Limbah merkuri dari tambang emas di Nagekeo mencemari 12 sungai utama, menyebabkan wabah penyakit Kulit dan Ginjal. 45 persen warga Desa Rendu mengalami gatal-gatal kronis (Dinkes NTT, 2024). Biaya Kesehatan juga akan Melonjak.
Pengeluaran keluarga untuk obat mencapai Rp 500.000/bulan, padahal sebelumnya hanya Rp 50.000.
Ketiga, kriminalisasi dan kekerasan fisik. aksi represif aparat bisa terjadi. Saat protes penolakan proyek (contoh: Pubabu), warga mengalami pemukulan dan penangkapan sepihak.
Misalnya saja, 37 warga Besipae terluka dalam penggusuran paksa (2022), 5 tokoh adat dipenjara dengan tuduhan "mengganggu ketertiban".
Trauma psikologis tidak dapat dihindarkan. Anak-anak di lokasi konflik menunjukkan gejala PTSD (gangguan stress pascatrauma) di 4 kabupaten (riset LSM Setara, 2023).
Keempat, pemutusan rantai ekonomi lokal. Matinya UMKM berbasis sumber daya lokal.
Alih fungsi lahan untuk pariwisata (contoh: Bowosie) menghancurkan pasar tradisional. 120 pedagang sayur kehilangan tempat berjualan. Kerajinan tenun ikat juga terancam. Bahan baku kapas lokal sulit diakses setelah lahan diubah jadi resort.
Kelima, disintegrasi sosial dan migrasi paksa. Konflik horizontal pasti terjadi.
Iming-iming ganti rugi oleh pengembang malah memecah komunitas polarisasi kampung. Desa Wologai (Sikka) terbelah antara "kelompok pro-modal" vs "penjaga adat".
Eksodus Tenaga Kerja pasti akan terjadi. Misalnya 1.200 pemuda dari Timor Tengah Selatan migran ke Malaysia secara ilegal tahun 2023–karena tak punya lahan lagi (catatan BP2MI).
Menyatukan Pancasila dan Praktik Agraria Berkeadilan
Untuk merajut kembali benang kusut kebijakan lahan di NTT, solusi harus dimulai dari restorasi hak musyawarah masyarakat adat sebagai jantung Sila ke-4.
Pemerintah harus mulai melihat dampak-dampak buruk jangka panjang yang akan terjadi ketika inkonsistensi semangat kepemimpinan diabaikan dan masyarakat akan semakin terpinggirkan yang tentu akan mengancam semangat persatuan dalam diri setiap orang NTT.
Di lain sisi, ada beberapa solusi strategis yang dapat dianjurkan untuk dilakukan. Pertama, rekonstruksi kebijakan berbasis musyawarah substansial dengan cara memperkuat pengadilan adat.
Beri ruang bagi penyelesaian konflik berbasis hukum adat, seperti diusulkan DPRD NTT dalam kasus Pubabu. Reforma Agraria Partisipatif penting untuk dilakukan.
Program redistribusi tanah harus melibatkan masyarakat sejak hulu, termasuk verifikasi klaim adat dan audit kepemilikan lahan.
Kedua, pemberdayaan ekonomi dan teknologi ramah lingkungan. Smart farming dengan cara mencontohi konsep irigasi tetes di Lanud El Tari (Kupang) terbukti meningkatkan produktivitas jagung di lahan kering.
Model ini bisa direplikasi untuk mengurangi ketergantungan pada lahan subur yang rawan konflik. Di lain sisi perlu untuk melakukan kemitraan adil. Proyek pariwisata dan energi harus melibatkan masyarakat sebagai pemegang saham, bukan sekadar pekerja.
Ketiga, pengawasan multi stakeholder dan penegakan hukum dengan cara membentuk Satuan Tugas Konflik Agraria.
Bentuk tim independen (perwakilan masyarakat, akademisi, LSM) untuk memantau implementasi musyawarah. Perlu memberikan Sanksi bagi Pelanggar.
Pemerintah pusat harus mencabut izin proyek yang mengabaikan proses konsultasi publik.
Di atas tanah NTT yang subur dan makmur, peringatan Hari Lahir Pancasila setiap 1 Juni tak boleh lagi menjadi ritual kosong.
Keadilan agraria adalah ujian nyata kesetiaan kita pada Sila ke-4: demokrasi musyawarah hanya bermakna ketika suara petani di Pubabu, nelayan di Poco Leok, dan penenun di Sikka didengar sebagai penentu kebijakan—bakiak sekadar objek pembangunan.
Jika negara konsisten menjadikan Pancasila sebagai philosofische grondslag, maka kebijakan lahan harus lahir dari ruang permufakatan yang setara—bukan dari paksaansertifikat atau kekuatan senapan.
Seperti diingatkan Bung Karno pada 1945, "Indonesia bukan milik satu golongan, tetapi milik semua buat semua" — sebuah prinsip yang harus direfleksikan dalam kembalinya kedaulatan masyarakat atas tanah leluhur.
Pilihan kini jelas:biarkan tanah NTT tetap menjadi medan perang bagi modal dan kekuasaan, atau jadikan ia bukti hidup bahwa musyawarah mufakat mampu melahirkan keadilan.
Esensi Pancasila bukan pada upacara, tetapi pada keberanian membongkar paradoks antara janji agung dan pengkhianatan sunyi di lapangan. Semoga! (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Opini: Krisis Batasan Domain Leviathan dan Tuhan |
![]() |
---|
Opini: Menuju Sekolah Cerdas, Integrasi Deep Learning dan AI dalam Transformasi Pembelajaran |
![]() |
---|
Opini - Implikasi Kebijakan Pembekuan Rekening Tidak Aktif Selama 3 Bulan Oleh PPATK |
![]() |
---|
Opini: Saatnya Keuangan Syariah Jadi Motor Penggerak Ekonomi Nasional |
![]() |
---|
Opini: Membangun Literasi, Membangun Manusia, Membangun Ekonomi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.