Opini

Opini: Hari Lahir Pancasila di Antara Slogan Formalistik dan Jalan Keluar Habitus Demokrasi

Banyak pidato kenegaraan, Pancasila selalu menjadi diksi utama yang diklaim sebagai ideologi final bangsa. 

|
Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Jose Da Conceicao Verdial 

Akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar masih sangat timpang dibandingkan wilayah perkotaan. 

Namun di balik keterbatasan tersebut, habitus demokrasi sejati justru masih hidup dalam bentuk gotong royong, solidaritas sosial, dan penghargaan terhadap nilai adat. 

Di sinilah Pancasila menemukan relevansinya kembali, bukan sebagai narasi negara, tetapi sebagai praksis kehidupan sehari-hari yang dijalankan rakyat biasa. 

Maka tugas negara adalah belajar dari rakyat, bukan sekadar mengajarkan Pancasila lewat materi formal dan upacara seremonial. 

Memperingati Hari Lahir Pancasila semestinya menjadi momentum  keluar dari perangkap sloganistik menuju praksis pembebasan. 

Demokrasi Pancasila yang kita impikan adalah demokrasi yang menjadikan rakyat sebagai subjek politik, bukan objek kontestasi. Ini berarti memberi ruang partisipasi sejati, menjamin keadilan substantif, dan menghormati keberagaman.

Perlu juga dibentuk institusi sosial yang memperkuat etika publik. Pendidikan, misalnya, harus diarahkan pada pembentukan kesadaran kritis dan empati sosial, bukan sekadar pencetak tenaga kerja. 

Media harus menjadi ruang diskursus rasional, bukan agen polarisasi. Agama harus menjadi penggerak etika sosial, bukan alat legitimasi kekuasaan. 

Maka, pembangunan demokrasi Pancasila harus bersifat simultan: membangun struktur (hukum, institusi, kebijakan), kultur (nilai, perilaku, kebiasaan), dan aktor (manusia-manusia etis). 

Tanpa ketiganya, Pancasila akan terus menjadi narasi tanpa tubuh, wacana tanpa aksi.

Dengan demikian Peringatan Hari Lahir Pancasila merupakan saat yang tepat untuk melakukan refleksi mendalam: sudah sejauh mana kita menjadikan Pancasila sebagai dasar hidup bersama, bukan sekadar dokumen konstitusional? 

Jika Pancasila terus digunakan sebagai alat retoris, tanpa diiringi kesadaran etik dan praksis demokratis yang tulus, maka ia akan semakin menjauh dari rakyat yang justru paling membutuhkannya. 

Sebaliknya, jika Pancasila dihidupkan sebagai jalan keluar dari krisis habitus demokrasi dengan menolak oligarki, mengedepankan etika publik, dan memperkuat partisipasi rakyat maka kita tak hanya memperingati kelahiran sebuah ideologi, tetapi merayakan lahirnya harapan baru bagi Indonesia yang lebih adil, inklusif, dan manusiawi.

Harus diingat bahwa memperingati hari lahir Pancasila bukanlah dalam menambah seremoni atau memperbanyak baliho Pancasila, melainkan membangun ulang habitus demokrasi yang emansipatoris. 

Demokrasi bukanlah soal prosedur, tetapi soal keberanian untuk memberi ruang pada suara-suara marjinal. 

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved