Opini
Opini: Opini WTP vs Realitas Korupsi Pengelolaan Keuangan di NTT
Pada tahun 2017, menempatkan provinsi NTT pada peringkat 9 teratas provinsi yang paling banyak melakukan korupsi.
Hasil pemetaan korupsi oleh ICW (2023 & 2024), menemukan beragam modus atau celah praktik korupsi, seperti penyalahgunaan anggaran, kegiatan/proyek fiktif, mark up, laporan fiktif, pungutan liar, penerbitan izin ilegal, pencucian uang, maupun menghalangi proses hukum.
Korupsi yang Semakin Canggih
Korupsi di era modern tidak lagi sebatas penggelapan langsung yang mudah terdeteksi, melainkan telah berevolusi menjadi praktik yang semakin canggih dan terselubung.
Para pelaku korupsi kini memahami dengan baik celah-celah dalam sistem dan memanfaatkannya dengan tetap menjaga agar secara formal dan administrative semua tampak sesuai aturan.
Di NTT, fenomena ini terlihat dari tingginya kasus korupsi yang terungkap meskipun mayoritas Pemda telah mendapatkan opini WTP.
Para pelaku korupsi tampaknya telah mahir dalam menyiasati sistem pengawasan dengan tetap menjaga agar laporan keuangan mereka tampak wajar dan sesuai standar.
Misalnya, proyek fiktif dilengkapi dengan dokumentasi yang lengkap, mark-up anggaran dilakukan dengan perhitungan yang terlihat masuk akal, atau pengadaan barang/jasa diatur sedemikian rupa sehingga menguntungkan pihak tertentu namun tetap tampak mengikuti prosedur formal.
Sistem Pengawasan yang Terfragmentasi
Persoalan ketiga terletak pada fragmentasi sistem pengawasan. BPK, sebagai lembaga yang memberikan opini WTP, memiliki keterbatasan dalam cakupan dan kedalaman pemeriksaan, terutama dalam pemeriksaan untuk tujuan opini.
Sementara itu, pengungkapan kasus korupsi biasanya dilakukan oleh institusi lain seperti KPK, Kepolisian, atau Kejaksaan yang memiliki pendekatan dan fokus berbeda.
Di NTT, fragmentasi ini berpotensi menciptakan celah pengawasan. BPK mungkin fokus pada aspek keuangan akuntansi dan pelaporan, sementara praktik korupsi yang sesungguhnya terjadi di luar radar pemeriksaan mereka.
Kelemahan koordinasi antar lembaga pengawasan dan penegak hukum juga bisa menjadi faktor yang memperparah situasi.
Peran pengawasan internal, seperti legislatif, inspektorat sangat krusial dan penting dalam melakukan pencegahan peluang korupsi, di samping partisipasi masyarakat dalam mendukung peran pengawasan.
Budaya Birokrasi dan Governance
Persoalan keempat berkaitan dengan budaya birokrasi dan governance. Opini WTP mungkin telah menjadi obsesi bagi pemerintah daerah agar mendapatkan dana insentif dari pemerintah pusat, namun seringkali tidak diikuti dengan perubahan mendasar dalam budaya organisasi dan tata kelola.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.