Opini
Opini: Negara di Atas Kertas, Ironi Perlindungan Sosial di NTT
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTT juga menunjukkan tren positif, meningkat dari 68,40 pada tahun 2023 menjadi 69,14 pada 2024.
Kegagalan perlindungan sosial di NTT tak lepas dari masalah struktural dan lemahnya tata kelola. Meskipun terdapat kerangka kelembagaan yang luas, hubungan koordinatif antartingkat pemerintahan masih belum berjalan optimal.
Di tingkat pelaksana, program-program seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), dan bantuan disabilitas berjalan sendiri-sendiri, tanpa integrasi data dan membuat strategi bersama (Bappenas, 2024).
Fenomena ini menunjukkan bahwa yang dihadapi bukan semata kekurangan sumber daya, tetapi persoalan desain sistemik yang tidak mengutamakan kesederhanaan, kejelasan peran, dan kolaborasi antarpihak.
Bila pemerintah desa hanya berperan sebagai pelaksana administratif tanpa hadir langsung di lapangan dan tidak jeli untuk menilai siapa yang benar-benar layak dibantu, maka wajar jika muncul tumpang tindih bantuan dan ketimpangan distribusi.
Banyak pengalaman selama ini membuktikan bahwa ada keluarga yang menerima bantuan berlapis-lapis, sementara keluarga lain yang juga membutuhkan tidak mendapat kesempatan.
Ini tentu bukan sekadar kesalahan teknis, tetapi cerminan dari sistem yang rusak, yang belum menempatkan warga sebagai pusat dari kebijakan sosial (Yayasan Pengembangan Sosial Ekonomi NTT, 2023).
Dampak Sosial: Dari Ketidakpercayaan hingga Konflik Komunitas
Kegagalan sistem ini berdampak lebih dalam daripada sekadar angka penerima bantuan yang tidak tepat sasaran.
Ketika bantuan tidak menjangkau mereka yang paling membutuhkan, kepercayaan masyarakat terhadap negara perlahan mengikis.
Muncul anggapan bahwa negara hadir semata untuk kepentingan politik atau pencitraan, bukan sebagai pelindung kesejahteraan sosial.
Di berbagai komunitas, distribusi bantuan yang tidak adil telah memicu ketegangan sosial dan konflik antarpribadi.
Ketika keluarga yang dinilai cukup sejahtera tetap menerima bantuan, sementara yang lebih membutuhkan tidak mendapat kesempatan, maka rasa ketidakadilan mulai muncul dan akhirnya komunitas masyarakat kecil terpeca-bela.
Bantuan yang seharusnya menjadi simbol solidaritas justru berubah menjadi
pemicu disintegrasi sosial.
Lebih dari itu, ketergantungan terhadap bantuan tanpa diiringi upaya pemberdayaan telah menumbuhkan mentalitas pasif dan menghambat daya kreativitas masyarakat.
Ketika distribusi bantuan terganggu, muncul kepanikan dan kehilangan arah. Ketahanan ekonomi lokal menjadi rapuh karena inisiatif pribadi tergantikan oleh harapan terhadap bantuan berikutnya.
Handri Ediktus
Opini Pos Kupang
Komunitas Sekolastikat Hati Maria Kupang
Program Perlindungan Sosial
Nusa Tenggara Timur
Opini: Temuan BPK 2024, Alarm Sistemik Korupsi Struktural Indonesia |
![]() |
---|
Opini: Nusa Tenggara Timur Menuju Swasembada Pangan |
![]() |
---|
Opini: Seni Berkarakter di Ujung Tanduk, Bakat Muda NTT Tenggelam dalam Arus Globalisasi |
![]() |
---|
Opini: Jebakan Passing Grade ASN, Bom yang Siap Meledak di Jantung Birokrasi Negeri |
![]() |
---|
Opini - Literasi Sains dan Kesadaran Isu Lingkungan di Kalangan Anak Muda |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.