Opini

Opini: Moralitas Disalib di Tengah Jalan

Tapi tahun ini, lokasi Hole menarik perhatian lebih: tepat di seberang Gereja GMIT Ebenhaezert dan tak jauh dari Sekolah Dasar. 

|
Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Pdt. John Mozes Hendrik Wadu Neru 

Dan siapa penjualnya?

  • Pemilik lahan tempat Hole digelar.
  • Panitia penyelenggara yang punya “hak eksklusif” atas lapak dan retribusi.
  • Oknum tokoh publik yang tahu betul, makin ramai hole, makin besar kendali sosial atas kerumunan itu.

Teolog Gustavo Gutierrez menyebutkan bahwa “kemiskinan bukan hanya soal ketiadaan, tapi hasil dari sistem yang membiarkan ketidakadilan berlangsung sebagai hal normal.” Dan Hole menjadi salah satu instrumen dari sistem itu.

Kita Tahu Tapi Diam: Moralitas yang Luluh di Tengah Jalan

Apa yang lebih menyedihkan dari kemiskinan? Adalah kemiskinan yang dipertontonkan dalam pesta, dan kita semua menontonnya sambil tersenyum. 

Kita tahu ini salah. Kita tahu anak-anak kita bingung. Kita tahu gereja dan sekolah jadi penonton. Tapi kita tetap bilang: “Tidak apa-apa, ini cuma setahun sekali.”

Ini bukan cuma soal Hole. Ini soal niat hati kolektif kita yang membiarkan kebodohan sosial terjadi di depan mata. 

Dalam hati kecil kita, kita tahu perjudian ini tidak akan pernah menaikkan taraf hidup siapa pun. 

Tapi kita biarkan itu terus berlangsung, seakan kita sudah kehabisan akal untuk mencari solusi lain.

Kita bahkan sudah lupa rasanya berpikir jernih. Karena setiap kali ada Hole, yang kita pikirkan cuma: “Taruhan ayam mana yang paling mungkin menang?”, bukan “Mengapa hidup kami begini-begini saja meski pesta ini sudah digelar bertahun- tahun?”

Gereja: Diam atau Menjadi Nabi?

Gereja tidak dipanggil untuk membenci budaya. Tapi gereja dipanggil untuk menyaringnya, mengujinya, dan menegurnya bila menyimpang. 

Ketika adat menjadi selubung untuk perjudian dan eksploitasi, maka gereja harus tampil sebagai suara kenabian yang menolak kompromi.

Dietrich Bonhoeffer dalam “Ethics” mengingatkan bahwa “gereja yang tidak berbicara saat kebenaran diinjak, sedang berhenti menjadi gereja.” 

Jika gereja hanya menggelar ibadah sementara di seberangnya orang berjudi, maka gereja sedang melakukan liturgi tanpa makna. 

Iman bukan sekadar soal ritual—iman adalah keberpihakan pada kehidupan yang bermoral, bermartabat, dan bermasa depan.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved