Opini
Opini: Moralitas Disalib di Tengah Jalan
Tapi tahun ini, lokasi Hole menarik perhatian lebih: tepat di seberang Gereja GMIT Ebenhaezert dan tak jauh dari Sekolah Dasar.
Yang lebih ironis adalah ketika para pejabat, aparat, dan tokoh adat hadir bukan untuk menertibkan, tapi untuk berswafoto.
Berdiri di antara baliho berlogo pemda dan ayam yang dijagal, mereka menyambut “kearifan lokal” tanpa mengajukan satu pun pertanyaan etis.
Bukankah tanggung jawab kekuasaan adalah menjaga keseimbangan antara pelestarian dan perlindungan?
Bahkan dalam desas-desus rakyat, terdengar bahwa sebagian tokoh masyarakat memanfaatkan Hole untuk konsolidasi basis suara. Uang taruhan berubah jadi alat kontrol sosial.
Keluarga miskin menyumbang untuk bertaruh, lalu berharap menang agar bisa beli sembako.
Saat kalah, mereka kembali antre menerima bantuan dari program sosial yang dananya diatur oleh para “penyelenggara Hole”.
Adat Bukan Alat Legitimasi Eksploitasi
Tidak semua yang berlabel “adat” layak dirayakan tanpa koreksi. Ada batas etis antara penghormatan terhadap warisan budaya dan pembiaran terhadap eksploitasi massal.
Ketika Hole berulang kali digelar namun rakyat tetap hidup dalam derita yang sama, seharusnya kita bertanya: siapa yang sebenarnya diuntungkan?
Masyarakat umum? Atau elite pemilik tanah dan panitia yang mengatur arus uang?
Yang terlihat jelas adalah polanya: masyarakat menanggung keramaian, elite panen keuntungan. Dan yang dilupakan? Anak-anak. Mereka menyerap semua itu sebagai hal biasa.
Mereka melihat uang lebih banyak berputar di arena daripada di gereja
atau sekolah. Mereka belajar bahwa suara gong lebih bergema dari suara iman.
Perjudian Tradisional: Ekonomi Palsu dan Pasar Tanpa Etika
Jika kita berani jujur, Hole bukan sekadar acara adat. Ia sudah bermetamorfosis menjadi pasar gelap emosional: tempat orang miskin membeli harapan dengan uang makan, dan orang kaya menonton sambil tertawa — karena mereka tidak pernah benar-benar rugi.
Hole telah menciptakan apa yang bisa kita sebut sebagai “segmentasi pasar perjudian desa”.
Kita bisa hitung siapa konsumennya: Para buruh musiman, tukang panjat kelapa, janda penerima bantuan, petani gagal panen, dan pemuda pengangguran. Mereka bukan pemilik modal. Mereka hanyalah pasar yang dibentuk oleh harapan palsu.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.