Opini
Opini: Membangun Narasi Kritis Mahasiswa Flores
Kampus seharusnya menjadi ruang intelektual yang membuka ruang bagi perdebatan konstruktif, bukan tempat yang hanya menerima pengetahuan.
Oleh: Berno Jani
Mahasisw Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero - Maumere, Flores - Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Kampus-kampus di Flores memiliki peran strategis dalam mencetak generasi intelektual yang kompeten. Kampus di sana menghasilkan banyak lulusan saban tahun, di antaranya meraih predikat cum laude.
Namun, prestasi akademik semata tidak cukup jika tidak disertai dengan kesadaran kritis terhadap realitas sosial dan lingkungan sekitar.
Faktanya, banyak mahasiswa yang memilih diam atau menjadi penonton di tengah arus pembangunan yang sering kali mengabaikan keberlanjutan ekologis dan kesejahteraan masyarakat.
Contohnya, proyek geothermal yang menimbulkan dampak lingkungan yang signifikan, seperti kerusakan ekosistem dan penggusuran budaya lokal.
Kebijakan-kebijakan ini sering kali tidak mempertimbangkan suara lokal dan justru memperburuk ketimpangan sosial. Di sini, saya ingin mengajak untuk mahasiswa sebagai agen perubahan.
Dengan bekal pengetahuan yang ada, mereka harus mampu mengkritisi kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat dan lingkungan.
Melalui demonstrasi, tulisan ilmiah, atau diskusi publik, mahasiswa dapat menyuarakan ketidakadilan dan memperjuangkan kebijakan yang lebih adil dan berkelanjutan.
Kondisi Flores saat ini memerlukan mahasiswa yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga peka terhadap isu-isu sosial dan lingkungan.
Dengan demikian, prestasi akademik yang diraih tidak hanya menjadi pemenuhan syarat formal, tetapi juga menjadi kontribusi nyata dalam membangun Flores yang lebih baik.
Kondisi Flores
Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Flores, yang dimulai sejak penetapan pulau ini sebagai Pulau Panas Bumi pada 2017, mengancam keberlanjutan ekologis dan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat lokal.
Meski diklaim sebagai bagian dari transisi energi bersih, dampak yang ditimbulkan jauh dari harapan.
Proyek ini memicu kerusakan serius terhadap lingkungan, termasuk peningkatan risiko bencana geologi, gangguan terhadap sistem akuatik, serta kerusakan hutan yang semakin memperparah deforestasi di Flores.
Luas hutan alam di Flores telah menurun drastis dari 567.232 hektare pada 2000 menjadi hanya 185.927 hektare pada 2017, dan sebagian besar wilayah konsesi panas bumi berada di atas lahan adat tanpa persetujuan masyarakat setempat, jelas melanggar hak-hak mereka.
Bahkan, lebih dari 70 persen dari 12 Wilayah Kerja Panas Bumi di Flores dikuasai segelintir perusahaan besar yang berafiliasi dengan konglomerat multinasional, memperlihatkan bagaimana oligarki energi mengendalikan proyek-proyek ini untuk kepentingan ekonomi global, bukan untuk kesejahteraan rakyat.
Masyarakat lokal, terutama petani, semakin merasakan dampak negatif yang mencengkeram kehidupan mereka.
Penurunan hasil pertanian, seperti kopi, cengkeh, dan kakao, serta kerugian ekonomi hingga triliunan rupiah menjadi ancaman nyata.
Di beberapa tempat, bencana ekologis seperti longsor dan pencemaran air sudah mulai terjadi, sementara pemerintah lebih sibuk mengejar keuntungan ekonomi dan modal asing daripada melindungi hak-hak masyarakat yang terpinggirkan.
Pembangunan energi terbarukan yang digembar-gemborkan ini justru tampak sebagai dalih untuk memperluas ekspansi kapital yang merusak.
Klaim transisi energi hijau hanyalah kemasan untuk praktik "neokolonialisme" yang merugikan masyarakat adat.
Tanpa partisipasi yang adil dari warga lokal, transisi energi ini bukan saja mengabaikan keadilan sosial dan ekologis, tapi juga memperburuk ketimpangan yang ada.
Dengan begitu Flores terjebak dalam lingkaran setan eksploitasi sumber daya yang hanya memperkaya segelintir pihak, sementara masyarakat lokal harus menanggung kerusakan jangka panjang pada tanah, air, dan kehidupan mereka.
Apa dan Siapa itu Mahasiswa?
Mahasiswa bukan hanya sebagai objek pendidikan atau alat yang dimanfaatkan oleh kekuasaan, melainkan subjek epistemik yang mampu berpikir kritis dan mandiri.
Mengacu pada pandangan Antonio Gramsci, mahasiswa idealnya adalah seorang organik-intellectual, individu yang tidak hanya memahami ilmu pengetahuan, tetapi juga memiliki kesadaran terhadap posisi historis dan ideologisnya dalam masyarakat.
Mereka seharusnya menjadi agen perubahan yang aktif, yang menggugat status quo, bukan sekadar mengikuti arus tanpa mengkritisi.
Namun dalam kenyataannya, banyak mahasiswa yang terjebak dalam apatisme estetis, lebih sibuk dengan representasi diri mereka di ruang digital daripada mengartikulasikan ide di ruang publik yang lebih produktif.
Bahkan, ada juga yang tergelincir menjadi "teknokrat bayaran", profesional yang bekerja atas dasar logika kapital dan kekuasaan tanpa mempertimbangkan keberpihakan etis pada kebenaran dan keadilan.
Fenomena ini seperti yang disebutkan oleh Julien Benda, mencerminkan pengkhianatan kaum intelektual, di mana para cendekiawan memilih untuk berkhianat terhadap tugas pencerahan mereka dan malah menjadi pelayan ideologis bagi kekuasaan yang ada.
Mahasiswa yang kehilangan kompas moral dan intelektual akan dengan mudah berubah menjadi aktor dalam sistem yang seharusnya mereka kritik.
Oleh karena itu, mahasiswa harus kembali menyadari bahwa posisi sebagai penjaga kebenaran yang harus mempertanyakan dan menggugat dominasi simbolik yang ada di masyarakat.
Akal sehat menjadi senjata penting dalam perlawanan epistemik. Di tengah-tengah ekosistem politik yang tercemar oleh hoaks, intoleransi, dan polarisasi, akal sehat harus diposisikan bukan hanya sebagai nalar normatif, melainkan sebagai instrumen untuk melawan ketidakadilan dan ketidakbenaran yang merajalela.
Pierre Bourdieu menyebutnya sebagai habitus intelektual, sebuah kecenderungan reflektif untuk terus mempertanyakan asumsi-asumsi yang ada, membongkar struktur dominasi simbolik yang telah mengakar, danmenyusun wacana tandingan atas narasi-narasi hegemonik yang sering kali menindas.
Dalam politik akal sehat, mahasiswa dituntut untuk berani berpikir secara rasional di tengah-tengah suasana yang emosional dan penuh ketegangan.
Keberanian ini adalah kualitas yang harus dimiliki oleh mahasiswa sebagai subjek epistemik yang dapat membongkar kebohongan dan ketidakadilan yang ada dalam masyarakat, serta memperjuangkan kebenaran dan keadilan untuk semua.
Dengan demikian, mahasiswa harus kembali kepada tugas mulia mereka sebagai agen perubahan yang tidak hanya mengkritisi sistem, tetapi juga memberikan solusi yang rasional dan bermoral untuk membangun masa depan yang lebih baik.
Mereka harus berani melawan dominasi ideologi yang menindas dan menggantinya dengan wacana yang lebih adil, lebih manusiawi, dan lebih berpihak pada masyarakat.
Mahasiswa Menjadi Suara Alternatif
Tugas mahasiswa dalam menangani masalah yang terjadi di Flores, khususnya terkait dengan eksploitasi panas bumi (geothermal), dapat dianalisis melalui dua dimensi besar yang mengacu pada epistemologi perlawanan: sebagai subjek epistemik yang kritis dan sebagai agen perubahan dalam masyarakat.
Pertama, mahasiswa sebagai subjek epistemik yang kritis. Dalam tradisi intelektual Gramsci, mahasiswa memegang peran penting sebagai intelektual organik, yaitu individu yang tidak hanya berfokus pada pencapaian akademik semata, tetapi juga berfungsi aktif dalam masyarakat.
Sebagai subjek epistemik, mahasiswa seharusnya menyadari posisi mereka dalam konteks sosial, politik, dan ideologis, serta memahami cara-cara pengetahuan yang mereka peroleh dapat digunakan untuk mengkritisi ketimpangan sosial-ekonomi dan eksploitasi sumber daya alam.
Dalam hal ini mahasiswa perlu menggali lebih dalam mengenai dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi dari proyek geothermal yang terjadi di Flores, terutama terhadap keberlanjutan ekosistem dan kehidupan masyarakat lokal, termasuk masyarakat adat yang sering terpinggirkan dalam pengambilan keputusan pembangunan.
Sebagai subjek epistemik, mahasiswa harus mampu membongkar narasi hegemonik yang seringkali diproduksi oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan atau perusahaan besar yang terlibat dalam eksploitasi geothermal.
Mereka tidak hanya menerima informasi sebagai kebenaran yang ditetapkan, tetapi juga aktif membangun narasi tandingan yang kritis terhadap kebijakan yang ada.
Dalam kerangka ini, mahasiswa berfungsi sebagai agen intelektual yang mempertanyakan praktik-praktik yang merugikan dan mencari solusi alternatif yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan.
Kedua, mahasiswa sebagai agen perubahan dalam perlawanan epistemik. Sebagai agen perubahan, mahasiswa memiliki peran penting dalam melawan "feodalisme kognitif" yang terjadi dalam tiga ranah utama: akademik, politik, dan psikologis.
Feodalisme Akademik: mahasiswa dapat melawan struktur birokratis yang otoriter dan steril dengan memperjuangkan ruang diskursus yang lebih bebas dan kritis di kampus.
Mereka harus mampu menggunakan pengetahuan kritis untuk mendorong adanya penelitian dan diskusi yang mengkritisi kebijakan-kebijakan pembangunan yang tidak ramah lingkungan dan merugikan masyarakat.
Kampus seharusnya menjadi ruang intelektual yang membuka ruang bagi perdebatan konstruktif, bukan tempat yang hanya menerima pengetahuan dari otoritas tanpa pertanyaan kritis.
Feodalisme Politik: Mahasiswa juga berperan dalam melawan bentuk kekuasaan politik yang tidak transparan dan menganut kediktatoran dalam pengelolaan sumber daya alam.
Dalam konteks eksploitasi geothermal di Flores, mahasiswa harus memperjuangkan hak-hak masyarakat lokal, terutama masyarakat adat, yang sering kali tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.
Mereka dapat berperan dalam memperjuangkan keadilan sosial dan keberlanjutan ekologis dalam kebijakan publik.
Feodalisme Psikologis: Pada ranah psikologis, mahasiswa perlu mengingatkan diri dan orang lain untuk tidak terjebak dalam pola pikir sektarian atau keserakahan individu yang mengabaikan rasionalitas dan nalar.
Dalam menghadapi polarisasi sosial dan ketegangan emosional, mahasiswa diharapkan dapat menjaga akal sehat sebagai pedoman dalam berpikir dan bertindak. Selain itu, mahsiswa harus membangun Narasi Kritis.
Mahasiswa memiliki tanggung jawab untuk membangun narasi kritis terhadap proyek geothermal yang sedang berkembang di Flores.
Mereka harus melakukan riset yang komprehensif untuk memahami potensi dampak jangka panjang terhadap lingkungan, seperti kerusakan ekosistem, penurunan kualitas air, dan pengaruh terhadap kehidupan masyarakat setempat.
Selain itu, mereka perlu mengajukan solusi yang lebih berkeadilan, seperti
mendorong model pembangunan yang mempertimbangkan keberlanjutan ekologis dan hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam. Gunakan akal sehat sebagai alat bentuk perlawanan.
Akal sehat harus dipahami sebagai senjata utama untuk melawan ketidakadilan. Mahasiswa diharapkan dapat menjadi suara alternatif di tengah kebisingan politik dan retorika yang sering kali dangkal dengan berpikir kritis dan rasional mengenai dampak eksploitasi geothermal.
Melalui pendekatan yang berbasis pada akal sehat, mahasiswa dapat menyuarakan isu-isu yang sering terabaikan, seperti kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam yang tidak bertanggung jawab.
Epilog
Mahasiswa dengan kapasitas intelektual yang mereka miliki, mempunyai potensi untuk menjadi agen perubahan dalam menangani masalah yang terjadi di Flores, khususnya terkait dengan eksploitasi panas bumi.
Sebagai subjek epistemik, mereka tidak hanya menerima informasi secara pasif, tetapi juga mampu mengkritisi dan menganalisis dampak-dampak yang ditimbulkan oleh eksploitasi geothermal terhadap masyarakat dan lingkungan.
Selain itu, mereka harus aktif membangun narasi tandingan yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan, serta berani mengkritik kebijakan yang ada demi mewujudkan pembangunan yang lebih berpihak pada masyarakat lokal dan lingkungan.
Akal sehat, sebagai alat perlawanan epistemik, menjadi kunci dalam perjuangan ini, memastikan bahwa perubahan yang dihasilkan dapat menciptakan keadilan sosial dan keberlanjutan ekologis di Flores. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Opini: Prada Lucky dan Tentang Degenerasi Moral Kolektif |
![]() |
---|
Opini: Drama BBM Sabu Raijua, Antrean Panjang Solusi Pendek |
![]() |
---|
Opini: Kala Hoaks Menodai Taman Eden, Antara Bahasa dan Pikiran |
![]() |
---|
Opini: Korupsi K3, Nyawa Pekerja Jadi Taruhan |
![]() |
---|
Opini: FAFO Parenting, Apakah Anak Dibiarkan Merasakan Akibatnya Sendiri? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.