Opini

Opini: Tolong, Jangan Ribut!

Kita menutupi kebisingan dengan musik dan menyebutnya pesta, namun terkadang musik justru menekan rasa takut dan menghentikan rangsangan berlebihan.

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-SPLASH
ILUSTRASI 

Oleh: Melki Deni, S. Fil
Almunus Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero - NTT, sedang belajar Teologi di Universidad Pontificia Comillas, Madrid, Spanyol
 
POS-KUPANG.COM - Saat itu pukul setengah sembilan pagi di dalam kereta api dari stasiun Chamartín menuju San Sebastian de los Reyes, Madrid, sekolompok mahasiswi dari salah satu kampus berbincang-bincang sekeras-kerasnya. 

Mereka tidak saling mendengarkan karena itu sangat ribut. Beberapa orang di sebelahnya menonton video di ponsel tanpa headphone atau headset. 

Saya sendiri dengan buku di tangan terdiam menyaksikan beberapa orang dengan begitu tenang membaca buku di dalam kereta api tanpa merepotkan suara-suara dan teriakan-teriakan itu. 

Kota memang selalu identik dengan kebisingan, keributan, huru-hara, hiruk-pikuk, dan tergesa-gesa. 

Masyarakat sekarang lebih suka berbiara banyak daripada mendengarkan. Kita sedang krisis pendengar yang setia.

Kebajikan hening

Jika orang Latin kuno membedakan silere dari tacere, itu karena istilah sebelumnya menandakan ketenangan, non-gerakan, keheningan tanpa tujuan yang jelas, impersonal. 

Tacere, di sisi lain, menunjukkan keheningan “aktif”, kerinduan yang lebih mencari disiplin untuk tidak berbicara, dengan tujuan menyesuaikan, atau dengan kata lain, meniadakan, disonansi yang dihasilkan oleh segala sesuatu yang mengelilingi manusia. 

Silere merupakan tanda yang menunjukkan sesuatu yang lebih dari sekadar konsentrasi untuk mencapai tujuan, ketenangan yang diperlukan untuk membaca atau mendengarkan suara orang lain dengan lebih saksama. 

Silere adalah kata kerja yang mengenali imobilitas, keheningan yang tak pernah berakhir, pelepasan hasrat, saluran pelepasan. 

Oleh karena itu, dalam bahasa spiritualitas, ia dikaitkan dengan sikap mistis, sementara tacere terutama dikaitkan dengan keinginan pertapa.

Mengheningkan diri mempunyai manfaat ganda yang menyangkut kepentingan diri sendiri dan orang lain, sebab dengan tetap diam kita menawarkan diri kita sendiri tanpa bahasa, tanpa campur tangan. 

Benediktus dari Nursia, misalnya, yang hidup menyendiri dalam waktu lama di sebuah gua dekat Subiaco, tidak jauh dari Roma, merumuskan hukum-hukum monastik yang terbentuk dalam Regula monachorum yang ditulis kemudian di Monte Cassino, di mana ia menggunakan kata “keheningan” untuk menunjukkan perenungan di siang hari. 

Pada malam hari, ia menyarankan para anggota komunitas untuk berdiam diri (Omni tempore silentium). 

Setelah mereka berada di ruang doa, memudahkannya masuk ke dalam ruang tertinggi dari silentio. 

Fobia terhadap keheningan

Mengapa masyarakat sekarang tidak mampu bertahan lama dalam keheningan? Karena kesibukan di media sosial, aliran informasi yang berlebihan, kepuasan instan, intoleransi terhadap frustrasi, kecemasan, kelelahan, individualisme, kesepian, kegelisahan, dan perintah kerja terus-menerus oleh kapitalisme neoliberal. 

Bukan hanya teknologi sebagai pemicu masyarakat sekarang mempunyai fobia terhadap keheningan melainkan juga karena kapitalisme neoliberal sengaja menciptakan keributan dan kebisingan. 

Dan untuk menghentikan gangguan keributan dan kebisingan di tempat umum, kapitalisme menjual headset, earphone, dll.  

Konsekuensi negatif dari cara hidup ini tidak lain adalah gangguan tidur dan metabolisme, mudah tersinggung, masalah kardiovaskular, peningkatan kesulitan kognitif, kecenderungan kematian dini, depresi, tidak mampu bersabar, dan kecemasan berlebihan. 

Polusi suara juga berdampak negatif yang signifikan terhadap satwa liar, karena hewan, akibat stres terhadap suara dan kebisingan, mengubah perilaku mereka dan cenderung bergerak.

Masyarakat sekarang ini tidak mampu bertahan sendirian dengan tenang di dalam ruangan. 

Tidak diragukan lagi bahwa pendekatan percepatan, ketergesaan, dan kurangnya kesabaran saat ini telah memperburuk gejala ketidakbahagiaan manusia. 

Kita menutupi kebisingan dengan musik dan menyebutnya pesta, namun terkadang musik justru menekan rasa takut dan menghentikan rangsangan yang berlebihan. 

Kita takut akan kesunyian, keheningan, dan ketidakaktifan. Kita selalu cenderung melakukan gerakan fisik, pendengaran, dan menguji mental.  Tidak ada kota modern tanpa keributan dan kebisingan! 

Keributan bisa timbul dari luar maupun dari dalam diri seseorang. Keributan dari dalam diri menandakan adanya ketegangan dalam diri yang dipendam, ditekan, dan dibungkam, terutama disebabkan oleh kerinduan dan keinginan yang tidak sempat tercapai. 

Pada era serba digital ini, mulut seseorang tampak diam, tetapi pesan-pesan, informasi, video dan foto yang terlintas di dalam layar ponsel menimbulkan keributan pikiran, kecemasan emosial, dan kekacauan pikiran. 

Kita disuguhkan begitu banyak informasi, inspirasi, dan tutorial yang sebenarnya tidak kita butuhkan sama sekali. 

Ada Spotify, riuh pertandingan bola, YouTube, serial Netflix, radio, acara TV yang buruk... apa pun yang mengalihkan perhatian kita, apa pun yang mengagetkan kita.

Keributan dari luar seringkali sebabkan oleh aktivitas, tindakan, pembicaraan, dan kegiatan sosial yang mempunyai efek besar bagi manusia. 

Tidak diragukan lagi bahwa percepatan, ketergesaan, dan perintah persaingan pasar neoliberal elah memperburuk gejala ketidakbahagiaan, dan meningkatkan kecemasan berlebihan masyarakat kita. 

Kita coba keluar dari rumah kita, masuk ke restoran dan televisi menyiarkan berita tengah hari, bahkan berita yang tidak ingin kita dengar. Tv, koran, dan media sosial berbicara banyak tentang gambaran inflasi, perang, dan ketakutan. 

Di mobil-mobil terdengar musik DJ, Remix, yang dibunyikan secara keras bercampur dengan klakson taksi, dengan sirene polisi atau ambulance, serta pekerja konstruksi yang memperbaiki jalan raya.

Saya beli maka saya ada

Kita terburu-buru untuk mendapatkan lebih banyak notifikasi, lebih banyak pembelian, lebih banyak pengikut, lebih banyak suka, lebih banyak komentar, lebih banyak pujian di media sosial. 

Lebih banyak, lebih banyak, selalu lebih banyak dari segalanya, karena moto masyarakat konsumsi sekarang: Saya beli maka saya ada. Namun, pengejaran segalanya dibangun di atas jurang. 

Kapitalisme digital menciptakan kebisingan dan mengacaukan keheningan. Masyarakat terbiasa dengan kebisingan yang mengusirnya dari diri sendiri, rasanya aneh menemukan dan berpikir tentang diri sendiri, tetangga, dan proyek kehidupan yang lebih manusiawi.

Di pinggiran jalan dan di media sosial, kita menemukan begitu banyak papan iklan, resep medis, pengobatan yang murah dan, bunga-bunga, hiasan dinding, dengan pikiran kita seperti di cermin, kuku dan wajah yang dirias, model dan merek pakaian ternama, dan seterusnya. 

Orang-orang yang lewat di depan kita juga merupakan bagian dari promotor atau pengiklan produk-produk baru, sehingga kita selalu terpancing untuk membeli, mempunyai, dan memiliki lebih dari yang mereka punya. 

Kita juga termasuk promotor dan pengiklan gratis dari produk-produk kapitalisme neoliberal yang tidak pernah gratis itu.

Saya ribut maka saya ada

Kita orang Indonesia menganggap bahwa keriuhan merupakan bagian dari sono-nya kita dan menerima bahwa kita berisik, ribut, risuh, karena kita mengasosiasikan kebisingan dengan pesta pora, dengan minum-minum, dengan berpesta. 

Di pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, misalnya, hampir tiap bulan ada pesta yang menimbulkan kebisingan. 

Kalau bukan pesta, musik-musik dengan alat pengeras suara dimainkan tanpa menghargai dan menghormati keheningan tetangga. 

Belum lagi teriakan di mana-mana. Pesta tidak ramai kalau tidak kacau, tidak baku pukul, tidak ada yang korban. 

Pesta sebagai perayaan syukur dan terima kasih diubah menjadi aksi pertunjukan pertarungan fisik. 

Ini mungkin juga menjelaskan mengapa negara kita sedikit saja pakar yang mampu menghasilkan karya-karya fenomenal. 

Dan, sesungguhnya semakin ribut, semakin tidak produkif: Semakin tidak produktif, semakin miskin, rentan, mudah ditindas, diperalat dan dijualbelikan!

Kierkegaard mengklaim bahwa, jika ia berpraktik sebagai dokter, ia akan menyembuhkan penyakit dunia dengan menciptakan keheningan bagi umat manusia. 

Tidak mengherankan ia mencari obat seperti itu, karena ia dicengkeram oleh ambang waktu yang tak tertandingi dalam produksi kebisingan fisik, tetapi juga mental, sebuah tuntutan untuk serangan ketenangan akustik dan kebebasan dari kerinduan. 

Lebih dari sekadar masalah kesehatan, di negara kita kebisingan dianggap sebagai konflik politik, sosial, agama, budaya dan bahkan etika. 

Tetapi memang, politik dan juga agama seringkali menciptakan dan menimbulkan kebisingan dan keributan. 

Saya hening maka saya ada

Keheningan sejati tidak mesti terletak pada jarak, tetapi mungkin pada intuisi bahasa yang melampaui batas. 

Namun, pelarian dari apa yang penuh gejolak, dari apa yang mengejutkan, penghindaran yang terkadang menjengkelkan ke dalam keheningan yang memungkinkan kita untuk menata kembali diri kita, untuk percaya, secara sederhana, bahwa adalah mungkin untuk mencapai lanskap yang indah dan polos di mana kita dapat tinggal dan tidak dihakimi, di mana tidak perlu untuk menjelaskan apa pun atau siapa pun, dapat mengarah ke ruang yang tidak ramah dan tampak tenang. 

Eksodus semacam ini sering kali menjelaskan proyeksi rasa individualitas yang gelap, individualitas yang tidak lagi ingin – dan tidak dapat – mendengar apa pun yang tidak datang dari luar. 

Keheningan sejati tidak selalu ditemukan di kejauhan, di kabut lembah, atau di ruang sunyi, tetapi lebih mungkin ditemukan dalam intuisi bahasa yang melampaui batas, di “zona balik kecerdasan” yang dibicarakan Plotinus, dan di wilayah-wilayah tempat ego kehilangan fondasinya. 

Saat itulah keheningan menghentikan, mengatur, menciptakan, dan melarutkan. 

Keheningan mempersoalkan moto masyarakat modern seperti “saya google maka saya ada”, atau “saya beli maka saya ada” atau “saya ribut maka saya ada” atau saya benci maka saya ada”, dan melampauinya!

Pablo d'Ors, penulis buku Biografía del Silencio yang sangat terkenal itu, ketika ditanyai oleh Elena Herrero-Beaumont, apakah dia akan menganjurkan para pemimpin politik kita untuk bermeditasi, dia menjawab:

 “Membudayakan keheningan itu penting, dan itu adalah hal yang paling transformatif yang saya ketahui. Saya percaya bahwa jika parlemen, kongres, universitas, rumah sakit, dan serikat pekerja kita mengawali aktivitas mereka dengan ruang keheningan, apa yang akan terpancar dari mereka akan jauh lebih autentik dan asli."
 
"Ini bukan tentang memitologikan keheningan, melainkan tentang mengalaminya dan memverifikasi kekuatannya yang luar biasa. Mantra itu lebih kuat daripada bom atom, kata Gandhi.”

Kita sangat membutuhkan keheningan tidak hanya saat kita mau tidur atau sedang sakit atau sementara stres bera, tetapi terutama untuk meregenerasi otak kita. 

Keheningan merangsang pembentukan neuron, memfasilitasi pembelajaran, meningkatkan daya ingat, dan meningkatkan kreativitas dan produktivitas. 

Dengan demikian, di hadapan pembicara, “saya hening maka saya ada”, dan di hadapan pendengar, “saya ada maka saya hening”! (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved