Breaking News

NTT Terkini 

Dialog Publik Ikatan Kaum Intelektual Fatuleu Kupang Soroti Polemik Relokasi Pulau Kera

Sementara itu, Fadly Anetong mengacu pada standar internasional FPIC (Free, Prior, and Informed Consent) yang dideklarasikan PBB pada 2007.

Editor: Oby Lewanmeru
POS-KUPANG.COM/YUAN LULAN
PULAU KERA - Badan Pengurus Ikatan Kaum Intelektual Fatuleu (IKIF) menggelar Dialog Publik bertajuk Resolusi Pulau Kera dengan sub-tema Kontribusi Kaum Intelektual Terhadap Polemik Pulau Kera di Aula Gedung Pramuka, Kota Kupang pada Kamis (22/5/2025). 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Yuan Lulan

POS-KUPANG.COM, KUPANG – Badan Pengurus Ikatan Kaum Intelektual Fatuleu (IKIF) menggelar Dialog Publik bertajuk Resolusi Pulau Kera dengan sub-tema Kontribusi Kaum Intelektual Terhadap Polemik Pulau Kera di Aula Gedung Pramuka, Kota Kupang pada Kamis (22/5/2025). 

Acara ini dihadiri oleh mahasiswa dan organisasi dari berbagai universitas di Kupang, termasuk BEM STIM Kupang, BEM STIKOM IKIF, FMN, UKAW, AGRA NTT, UCB, dan Sahabat Alam NTT. 

Dialog menghadirkan dua pembicara, Yefta Sabaat, S.Ip., M.Ip (Dosen Fisip Undana) dari perspektif ilmu politik dan Fadly Anetong, S.Sos (Pimpinan AGRA NTT) dari perspektif sosiologi.

Yefta Sabaat menyoroti kebijakan relokasi Pulau Kera dari sudut pandang politik, menyebutnya cacat prosedur karena tidak melibatkan partisipasi masyarakat. 

“Jika tujuannya kesejahteraan, pemerintah harus mendekatkan pelayanan publik, bukan memindahkan masyarakat. Kebijakan ini otoriter, tidak melalui tahapan dialog dan kesepakatan bersama,” tegasnya.

Baca juga: Cipayung Kota Kupang Datangi BBKSDA NTT, Pertanyakan Status TWA Laut Teluk Kupang di Pulau Kera

Baca juga: Pitoby Grup Dukung Relokasi Warga Pulau Kera untuk Kesejahteraan dan Pembangunan Pariwisata


Ia menduga motif relokasi lebih kepada “pembagian kue kekuasaan” untuk kepentingan elit, bukan masyarakat. 

Yefta menegaskan bahwa pemerintah harus hadir sebagai penyedia solusi, bukan menambah masalah, dan mempertanyakan legalitas administratif warga Pulau Kera yang seharusnya diakui sebagai bagian dari Kabupaten Kupang.

Sementara itu, Fadly Anetong mengacu pada standar internasional FPIC (Free, Prior, and Informed Consent) yang dideklarasikan PBB pada 2007.

Ia menjelaskan bahwa kebijakan publik harus bebas dari intimidasi, melibatkan partisipasi masyarakat, memberikan informasi transparan, dan memperoleh persetujuan warga terdampak.

“Relokasi Pulau Kera tidak memenuhi standar ini. Tidak ada kebebasan, tidak ada informasi yang jelas, dan tidak ada persetujuan masyarakat,” ujarnya.

 Fadly menegaskan bahwa kesejahteraan tidak dicapai dengan relokasi, melainkan dengan menghadirkan negara melalui pendidikan, kesehatan, dan air bersih. Ia juga meminta data pembanding untuk memastikan apakah hanya Pulau Kera yang dianggap tidak sejahtera di Kabupaten Kupang.

Dialog ini menghasilkan rekomendasi agar pemerintah menghentikan relokasi, melakukan kajian akademis yang transparan, dan memenuhi hak-hak dasar warga Pulau Kera. Peserta dari kalangan mahasiswa dan organisasi menyatakan komitmen untuk terus mengawal isu ini hingga keadilan tercapai.(uan)

Ikuti Berita POS-KUPANG.COM Lainnya di GOOGLE NEWS

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved