Opini

Opini: Sastra sebagai Lanskap Yang Menggambarkan Manusia Secara Utuh 

Manusia tidak pernah hidup dalam ruang hampa; ia terus-menerus berada  dalam tarik menarik antara eksistensi personal dan dinamika sosial. 

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Jose Da Conceicao Verdial 

Manusia, dalam kenyataannya, adalah makhluk yang paradoksal: ia mencintai dan membenci, berharap dan takut, memuja dan menghancurkan. Sastra tidak menghapus paradoks ini, tetapi justru merayakannya. 

Dalam sastra, kita menemukan ruang untuk mengalami ambiguitas tanpa harus menyelesaikannya secara definitif. Sebab kehidupan manusia memang tidak pernah tuntas dimaknai secara tunggal. 

Dengan kata lain, sastra tidak menawarkan jawaban yang pasti, melainkan pertanyaan-pertanyaan yang lebih tajam dan reflektif.

Dalam era kontemporer yang ditandai oleh algoritma, data besar, dan kecenderungan mereduksi manusia ke dalam angka-angka statistik, peran sastra menjadi semakin krusial. 

Di tengah gempuran narasi-narasi teknokratis, sastra hadir untuk mengingatkan kita bahwa manusia bukan sekadar objek kalkulasi atau entitas yang dapat diklasifikasikan. 

Manusia adalah makhluk yang memiliki cerita, trauma, harapan, dan masa lalu yang tak bisa sepenuhnya dipahami hanya lewat logika kuantitatif. 

Oleh karena itu, memperjuangkan eksistensi sastra dalam ruang publik bukan sekadar soal mempertahankan kesenian, tetapi mempertahankan kemanusiaan itu sendiri.

Dengan segala fungsi dan kemampuannya itu, sastra menjadi bagian penting dari ekologi kebudayaan yang sehat. 

Ia membantu masyarakat menyembuhkan luka-luka kolektif, membuka dialog lintas identitas, dan membentuk imajinasi sosial yang inklusif. 

Melalui sastra, kita belajar bahwa manusia adalah makhluk yang rentan, tetapi juga memiliki kemampuan luar biasa untuk bertahan, mencipta, dan mencintai. 

Maka menggambar manusia secara utuh dalam konteks sastra adalah menggambar keberadaannya dalam totalitas yang terus berproses: dari luka ke harapan, dari kegagalan ke kemungkinan, dari keterasingan ke solidaritas.

Jika kita ingin membangun peradaban yang lebih manusiawi, maka kita harus menempatkan sastra di tengah-tengah ruang kehidupan kita. 

Sastra tidak bisa terus-menerus disingkirkan ke pinggiran kurikulum pendidikan atau diabaikan dalam kebijakan kebudayaan. 

Justru dalam karya sastra, tersimpan potensi transformatif yang luar biasa untuk membentuk generasi yang lebih empatik, reflektif, dan terbuka terhadap perbedaan. 

Melalui pembacaan yang tekun dan penulisan yang jujur, sastra akan terus menjadi lanskap di mana manusia digambar bukan hanya sebagai sosok yang ada, tetapi sebagai sosok yang sedang dan terus menjadi. Hal ini terus digaungkan karena hal-hal sebagai berikut;

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved