Opini

Opini: Menimbang Moralitas Kristiani di Tengah Arus LGBT

Etika Kristen tidak boleh kehilangan akarnya yakni kebenaran Firman Tuhan namun juga tidak boleh kehilangan wajahnya yakni kasih yang menyembuhkan.

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Handri Ediktus 

Banyak individu LGBT mengalami trauma spiritual akibat penolakan atau penghakiman dari komunitas keagamaannya sendiri. 

Ironisnya, Gereja yang seharusnya menjadi tempat merasakan kasih dan pemulihan, justru menjadi sumber luka batin bagi sebagian orang. 

Karena itu, Gereja dipanggil untuk merefleksikan ulang pendekatan pastoralnya. 

Alih-alih langsung mengutuk atau menolak, Gereja seharusnya hadir sebagai ruang aman untuk dialog, pendampingan rohani, dan proses pertobatan bukan dengan maksud memaksa seseorang berubah orientasi seksualnya, melainkan membantu setiap pribadi membuka diri terhadap kehendak Allah dalam perjalanan hidupnya, dengan segala kompleksitas dan pergumulan yang ada (Kumala Setiabrata 2023). 

Tentu saja, langkah ini bukan sesuatu yang mudah. Diperlukan kerendahan hati, keberanian moral, serta kepekaan spiritual yang tinggi. 

Gereja harus mampu menghindari dua ekstrem: liberalisme tanpa batas yang mengaburkan batas-batas etika, dan fundamentalisme kaku yang mengabaikan belas kasih Kristus. 

Menemukan keseimbangan antara kebenaran dan kasih bukan berarti mengorbankan salah satunya, melainkan menyatukannya dalam terang Injil, demi memulihkan manusia seutuhnya.

Menuju Etika Kasih yang Menyembuhkan

Dalam dunia yang terus berubah, umat Kristen dihadapkan pada tantangan untuk merespons fenomena LGBT dengan kedewasaan iman dan kasih yang transformatif. 

Etika Kristen tidak boleh kehilangan akarnya yakni kebenaran Firman Tuhan namun juga tidak boleh kehilangan wajahnya yakni kasih yang menyembuhkan. 

Menegakkan moralitas Kristen bukan berarti bersikap kaku atau menghakimi, melainkan menggali kembali makna kasih Allah yang memandang setiap manusia sebagai ciptaan yang bernilai dan layak dipulihkan.

Refleksi ini tidak dimaksudkan untuk melonggarkan ajaran iman, melainkan untuk memurnikan sikap hati umat Kristiani agar mampu menjadi terang dan garam di tengah pergumulan zaman. 

Gereja tidak dipanggil menjadi benteng yang tertutup, tetapi menjadi rumah yang menyambut, membimbing, dan mendampingi. 

Di tengah isu LGBT, umat Kristen memiliki kesempatan untuk memperlihatkan iman yang tidak hanya benar secara doktrinal, tetapi juga indah dalam tindakan, iman yang berani berdialog, mengasihi tanpa syarat, dan tetap teguh berdiri dalam kebenaran Injil. 

Inilah jalan etika kasih yang sejati, jalan yang menyembuhkan, bukan melukai. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved