Opini
Opini: Dari Sede Vacante Menuju Konklaf
Dalam dua puluh tahun terakhir, setelah kematian Santo Yohanes Paulus II, Gereja telah mengalami dua kali Sede Vacante.

Misalkannya saja, kanonisasi Beato Carlo Acutis, yang rencananya dijadwalkan pada 27 April 2025, bisa saja akan ditangguhkan dan mungkin ditunda hingga masa kepausan berikutnya.
Paus memang tidak perlu memimpin upacara ini, ia dapat mendelegasikan seorang kardinal, tetapi jelas bahwa sang delegator harus masih hidup untuk melakukannya.
Contoh serupa terjadi dua puluh tahun yang lalu dengan beatifikasi P. Leo Dehon, yang telah dijadwalkan pada 24 April 2005, kemudian ditangguhkan karena kematian paus dan bahkan hingga kini tidak pernah dirayakan lagi.
Kedua, yang memainkan peran kunci sejak hari wafatnya Paus adalah Kardinal Kamerlengo.
Ia yang “secara resmi memastikan kematian Paus” dan “membubuhkan segel pada ruang kerja dan kamar” Paus (UDG 17). Dan inilah yang telah dibuat oleh Kardinal Kevin J. Farrel: ia mengumumkan berita kematian Paus, yang terjadi pada pukul 7:35 pagi tanggal 21 April 2025.
Dialah yang akan memimpin “ritual perayaan kematian dan penempatan jenazah di peti mati” di kapel Domus Sanctae Marthae pada pukul 20.00 malam (21/4/2025) bersama Dekan Kolegium kardinal (Giovanni Battista Re), anggota keluarga almarhum Paus, Direktur dan wakil direktur Direktorat Kesehatan Negara Vatikan.
Ketiga, peran kunci lain dalam situasi Sede Vacante adalah Dekan kolegium Kardinal.
Dia bertanggung jawab dan “memiliki tugas untuk memberi tahu dan memanggil semua kardinal.
Demikian pula, ia akan menyampaikan kematian Paus kepada Korps Diplomatik yang memiliki hubungan diplomatik dengan Takhta Suci dan kepada para kepala negara dari masing-masing negara” (UDG 19), di samping memimpin sidang-sidang umum yang mendahului konklaf.
Namun, peran Kardinal Dekan Giovanni Battista Re yang berusia 91 tahun akan berhenti di ambang pintu Kapel Sistina.
Kasus yang sama juga berlaku bagi Kardinal Sub-Dekan Leonardo Sandri yang telah berusia 81 tahun.
Keempat, penampakan pertama dari tubuh Paus yang telah meninggal terjadi di kapel Santa Marta (sebelumnya selalu di kapel apartemen kepausan) dan, sesuai dengan perubahan ritual yang diinginkan oleh Paus Fransiskus, langsung dimasukan dalam peti (peti mati tunggal, dan bukan lagi tiga peti tradisional dari kayu cemara, timah, dan kayu ek, yang juga digunakan untuk Paus Emeritus Benediktus XVI).
Kemudian disemayamkan di basilika Santo Petrus untuk penghormatan umat. Dibandingkan dengan upacara pemakaman Santo Yohanes Paulus II, tidak ada eksposisi peralihan di Aula Clementine di Istana Kepausan.
Upacara perkabungan untuk Paus berlangsung selama sembilan hari berturut-turut (yang biasa disebut novendiali), di mana “para kardinal akan merayakan misa arwah sebagai penghormatan bagi jiwanya”: termasuk dalam sembilan hari ini, misa pemakaman yang akan dirayakan oleh Kardinal Dekan, yang diikuti dengan penguburan.
Kelima, sesuai dengan keinginannya Paus Fransiskus akan dimakamkan di basilika Santa Maria Maggiore. Dan ini menjadi satu perubahan yang dinginkan dan di perkenalkan oleh beliau bahwa seorang Paus juga dapat dimakamkan di luar Vatikan. Ini bukan kasus yang pertama terjadi.
Pernah terjadi satu abad sebelumnya dimana Paus terakhir yang dimakamkan di tempat lain adalah Paus Leo XIII. Ia yang wafat pada tahun 1903 dan dimakamkan di Basilika Santo Yohanes Lateran.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.