Paskah 2025

"SABTU SUNYI": Bersimpuh di Depan Makam Tuhan

Pada “Sabtu Sunyi”, umat Kristiani dapat menghayati masa transisi dari peristiwa kematian Yesus dan kebangkitan-Nya.

|
Editor: Alfons Nedabang
POS-KUPANG.COM/HO
PATER FIDEL - P. Dr. Fidel Wotan, SMM, Rektor Seminari Tinggi Montfort “Pondok Kebijaksanaan” Malang. 

Ia dimakamkan oleh mereka yang sangat mengasihi-Nya (bdk. Mat 27:57-60; Mrk 15:42-47; Luk 23:50-56; Yoh 19:38-42). Semuanya sudah berakhir, “kisah Cinta Ilahi” dan tragedi penyaliban-Nya telah berakhir.

Sang Putra Manusia kini dibaringkan dengan tenang di dalam suatu tempat yang begitu sepi, hening, sunyi. Dia sendirian di sana dan tak ada seorang pun yang dapat berkomunikasi dan menatap-Nya.

Semuanya menjadi sangat hening, tak ada dialog. Yang tersisa hanyalah tanda tanya tentang Dia yang menderita itu: mengapa Dia yang adalah Tuhan dan Guru (bdk. Yoh 13:14) harus mengalami kesunyian makam-Nya. Yang pasti bahwa apa yang terlihat dan bisa dialami, dirasakan saat ini hanyalah “kesunyian” dan “keheningan total.”

Baca juga: Renungan Harian Katolik Kamis Putih 17 April 2025, Kasih dan Kerendahan Hati Yesus In Coena Domini

Dia benar-benar telah berjarak dari yang lain: dari Ibu-Nya yang terkasih, dari para murid-Nya dan juga dari manusia yang lain. Dia berbaring di sana dalam kesendirian-Nya seperti ketika Ia digiring ke tempat pembantaian untuk siap dicukur (bdk. Yes 52:13-53:12) dan ditinggikan dari bumi dan digantung di atas palang penghinaan dalam keheningan (bdk. Yoh 12:32).

Semua mata yang memandang-Nya berlinangan air mata. Kini Ia berada dalam “keheningan total” (a great silence). Ia masuk ke dalam sebuah alam yang belum pernah ditempati-Nya, yakni “dunia di bawah”, suatu tempat penantian dari selaksa jiwa yang samasekali belum menikmati keselamatan abadi. Sang Putra Manusia turun ke sana dan menjumpai mereka. 

“Sabtu Sunyi” pasca Giovedi santo dan Venerdi santo

Setelah Kamis Putih dan Jumat Agung, umat Kristiani memasuki suatu hari khusus yang diliputi oleh suasana hening, sunyi atau sepi.

Jikalau kemarin pada Jumat Agung Yesus dibawa ke tempat siksaan paling keji dan brutal, maka pada hari ini, “Sabtu Sunyi” (Sabbatum sanctum) sebelum Paskah, Ia merasakan betapa gelap dan heningnya makam di bawah bumi.

Pada saat inilah Putra Manusia mengalami “kesendirian yang absolut”. Sejatinya semua yang mengikuti-Nya dipanggil untuk merenungkan arti kesunyian, kesendirian Yesus di dalam makam-Nya. 

Pada “Sabtu Sunyi” ini, segenap umat Kristiani dapat menghayati masa transisi dari peristiwa kematian Yesus dan kebangkitan-Nya. Dalam masa transisi itu sebetulnya terkandung dua aspek penitng yang saling terkait, yakni “kedukaan dan harapan”.

Pada hari-hari ini, umat beriman telah dan sedang merenungkan bagaimana Yesus yang dielu-elukan tatkala memasuki Yerusalem pada Minggu Palem, pada akhirnya diteriaki untuk disalibkan. Ia benar-benar dipermalukan di depan umum dan dihukum mati.

Kematian Putra Manusia pada palang penghinaan sejatinya mengandung suatu “dimensi kedukaan itu”. Namun di balik itu ternyata ada dimensi lain, munculnya harapan baru, yakni “Paskah Jaya, Kebangkitan-Nya”.

Dia yang kini sedang berbaring di dalam makam-Nya itu akan bangkit pada hari ketiga (bdk. Mat 28:6; Luk 24:6-7). Jadi, pada perayaan “Sabtu Sunyi”, aspek “kedukaan dan harapan” disatukan dalam sikap iman yang benar.

Sembari merenungkan makna kefanaan dan keterbatasan manusia di hadapan jenazah Yesus dalam makam, seluruh umat Kristiani dipanggil untuk menghayati makna “Sabtu Sunyi” ini dengan keheningan total dan sikap meditatif atau kontemplatif yang mendalam.

Barangkali pada saat ini, setiap murid Yesus mau mengambil waktu untuk berhenti sejenak dari segala urusan duniawinya dan secara lebih khusuk mau tenggelam dalam doa dan merenungkan kematian-Nya.

Halaman
1234
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved