Paskah 2025
"SABTU SUNYI": Bersimpuh di Depan Makam Tuhan
Pada “Sabtu Sunyi”, umat Kristiani dapat menghayati masa transisi dari peristiwa kematian Yesus dan kebangkitan-Nya.
Oleh: P. Dr. Fidel Wotan, SMM
(Rektor Seminari Tinggi Montfort “Pondok Kebijaksanaan” Malang)
POS-KUPANG.COM - Selama Triduum Paskah, seluruh umat Kristiani memasuki hari-hari tersuci di sepanjang tahun liturgis. Pada masa ini, umat beriman merenungkan makna sengsara, kematian dan Kebangkitan Yesus.
Pada tiga hari istimewa nan suci ini, seluruh mata memandang pada sosok Hamba Yahme yang menderita, Dia yang mengadakan Malam Perjamuan Terakhir (Coena Domini) bersama para Rasul-Nya akhirnya menyerahkan diri-Nya pada pemimpin Agama Yahudi untuk disalibkan dan wafat pada palang penginaan. Namun pada hari ketiga, Dia bangkit dengan jaya mengalahkan maut dan dosa.
Dalam tulisan reflektif ini, saya akan mengelaborasi dan melihat lebih jauh makna hari ketiga dalam Tri Hari Suci, tepatnya pada momen kesunyian atau keheningan di hari Sabtu (Sabtu Sunyi) jelang Paskah Kebangkitan Tuhan.
Yesus Diadili Tanpa Ada yang Membela-Nya
Sehari setelah malam Perjamuan Terakhir, Yesus memasuki situasi yang paling “gelap dan tragis” dalam hidup-Nya. Ia diadili dan dihukum mati seperti seorang pemberontak atau penjahat besar (bdk. Mat 27:3-66).
Para murid yang setiap saat selalu berada bersama dengan sang Guru pun lari meninggalkan-Nya seorang diri (bdk. Mrk 14:50). Dia memang diadili di hadapan Pilatus namun sayang sekali tak ada seorang pun yang rela menjadi saksi untuk membela-Nya.
Pengadilan yang dijalani-Nya dua ribu tahun yang lalu adalah yang paling tidak adil tanpa ada banyak pembelaaan dari-Nya. Yesus harus menghadapi sidang pengadilan itu justru seorang diri, tak ada pengacara, demikian juga tak ada orang-orang yang dekat dengan-Nya.
Dalam kesendirian-Nya ini, Ia harus menghadapi berbagai macam tuduhan dan tuntutan untuk dihukum mati. Allah Bapa pun “seolah-olah” tak mampu membela Putra-Nya, bahkan Ia ditinggalkan oleh Allah-Nya sendiri: “Eli-Eli Lama Sabakhtani”: Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? (Mat 27:46; Mrk 15:34; bdk. Mzm 22:1-3).
Demikian juga Maria, Ibunda-Nya pun tak dapat berbuat apa-apa. Hanya dalam keheningan total, dia berusaha setia mengikuti “jalan Salib Putranya” sampai di Golgota (bdk. Yoh 19:26-27).
Putranya mati karena tuntutan dan hukum Yahudi yang harus terjadi pada-Nya, akan tetapi kematian-Nya itu jauh lebih berharga daripada anggapan orang Yahudi yang melihat salib sebagai suatu batu sandungan, dan suatu kebodohan bagi kaum Yunani (bdk. 1 Kor 1:23).
Kematian Yesus dan Kesunyian Makam-Nya
Kematian Yesus sekaligus merupakan kemuliaan dan kemenangan-Nya atas dosa dan kejahatan dunia. Inilah bukti cinta yang teramat agung nan luhur yang ada dalam sejarah hidup seorang Hamba Yahwe yang menderita (bdk. Yes 52:13-53:12).
Penulis Injil keempat berkata: “Tiada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang menyerahkan nyawa untuk sahabat-sahabat-Nya” (Yoh 15:13).
Setelah Yesus menyelesaikan perjalanan sengsara dan derita-Nya (bdk. Mat 26:14-27:66; Yoh 18:1-19:42), tubuh-Nya yang teramat lusu dan tak berbentuk itu, kini diturunkan dari kayu salib dan kemudian dipangku oleh Ibunda-Nya yang terkasih.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.