Paskah 2025

"SABTU SUNYI": Bersimpuh di Depan Makam Tuhan

Pada “Sabtu Sunyi”, umat Kristiani dapat menghayati masa transisi dari peristiwa kematian Yesus dan kebangkitan-Nya.

|
Editor: Alfons Nedabang
POS-KUPANG.COM/HO
PATER FIDEL - P. Dr. Fidel Wotan, SMM, Rektor Seminari Tinggi Montfort “Pondok Kebijaksanaan” Malang. 

Hanya saja, seberapa dalamkah kontemplasi dan refleksi diri manusia Kristiani saat ini berkenaan dengan peristiwa yang menimpa Yesus dalam kehidupan mereka?

“Sabtu Sunyi” Tanpa Perayaan Liturgis

“Sabtu Sunyi” (Sabbatum sanctum) yang diperingati di sini dapat dimaknai pula sebagai Second Sabbath after creation (Sabat Kedua) yang membuka ingatan setiap orang akan kisah penciptaan Allah atas bumi dan segala isinya, di mana pada hari ketujuh Ia berhenti sejenak dan menguduskannya (bdk. Kej 2:3).

Begitu pula, pada “Sabtu Sunyi” atau “Sabat Kedua”, jenazah Yesus dibaringkan dalam makam. Pada awal kekristenan, umat Kristiani meyakini hal ini dengan merayakannya secara khidmat Sabbatum sanctum dan Paskah.

Baca juga: Refleksi Jumat Agung - Mengapa Tuhan Harus Menderita?

Dikatakan demikian karena melalui “Sabtu Sunyi” mereka mempersiapkan diri menyambut misteri Paskah, Kebangkitan Yesus. Jikalau pada Kamis Putih, Jumat Agung dan Minggu Paskah, Gereja selalu merayakannya dalam suatu upacara liturgis khusus yang agung, meriah, maka pada “Sabtu Sunyi” yang istimewa ini, perayaan serupa sama sekali tidak pernah diadakan (a liturgico/non-liturgis).

Jadi, tepat sekali pada hari ini (Sabtu Sunyi) tidak ada perayaan liturgis khusus. Oleh sebab itu, hal yang dapat dilakukan saat ini hanyalah duduk diam bersimpuh dalam keheningan di depan makam Yesus. Itulah sebabnya, melalui sikap meditatif yang mendalam, setiap orang dapat merefleksikan “makna kesunyian” makam Tuhan seperti yang dihayati oleh Ibunda Yesus dan Maria Magdalena (bdk. Mat 27:51). 

Keheningan Total pada “Sabtu Sunyi”

“Sabtu Sunyi” adalah sekaligus sebuah keheningan total (a great silence) karena Hamba Yahweh yang menderita sedang berbaring tenang di dalam makam-Nya, meskipun di sisi lain barangkali manusia “tidak sedang berada dalam keheningan, kesunyian yang total”.

Mungkin saja banyak orang saat ini “tidak dapat berdiam diri” karena masih disibukkan oleh aneka kegelisahan, kekuatiran dan urusan-urusan duniawi lainnya.

Mestinya persis di tengah “kesunyian” ini, setiap pengikut Yesus diajak untuk merajut dan menghayati arti “keheningan total” karena peristiwa tragis yang menimpa seorang Putra Manusia, Yesus dari Nazareth. Setiap orang Kristen sungguh-sungguh ditantang untuk berani berdiam diri, berefleksi dan mencari keheningan. 

Mengapa “keheningan” itu perlu dicari dalam hidup ini dan rasa-rasanya menjadi begitu mahal di dunia dewasa ini? Setiap orang Kristen pantas dan bahkan harus merindukan dan mencari serta mengalami “keheningan” agar bisa memecahkan berbagai macam persoalan atau pun masalah dalam hidup.

Dikatakan demikian oleh karena “keheningan” pada hakekatnya merupakan “kunci utama” untuk membuka tabir misteri hidup itu sendiri.

“Keheningan total” memang diperlukan karena itu adalah “ekspresi diri yang terbaik” atas apa yang sedang terjadi dalam hidup setiap hari. Ini juga adalah cara yang dapat dipakai untuk menyatakan apa pun yang tak dapat diwakili dengan kata-kata belaka.

Bersama Maria, Mater Dolorosa dan juga Maria Magdalena, setiap orang Kristen pada saat ini ditantang dan diajak untuk duduk bersimpuh di depan makam Yesus.

Sambil merenungkan arti kematian dan kesendirian-Nya dalam makam yang sunyi itu, dia dapat belajar bersama Maria merenungkan “cinta dan kebaikan Allah” yang telah merelakan Putra-Nya mengalami situasi hidup manusiawi sejak Inkarnasi sampai puncak kematian-Nya di Kalvari.

Halaman
1234
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved