Opini
Opini: Bawa Guru Tukang Konten ke Meja Rakyat
Ada rasa segan untuk menyampaikan teguran. Apalagi ketika guru masih dianggap can do no wrong, tindak- tanduknya cenderung dianggap serba benar.
Tengoklah media sosial kita, tak susah ditemukan banyak pembelajaran direduksi menjadi sandiwara atas nama niat berbagi. Begitu banyak settingan, bahkan guru tidak lebih dari sekadar badut yang sedang bermain peran (Bdk. Guru Badut, Kompas.Id, 28/12/2024).
Merugikan siswa
Saat mulai berorientasi konten, fokus pembelajaran tentu bergeser dari substansi ke sensasi. Ini tak terhindarkan karena, sadar atau tidak, guru dikendalikan oleh hukum media sosial: makin sensasional, makin viral.
Ganjarannya pun menggiurkan: menjadi populer plus dapat penghasilan tambahan. Buntutnya, bisa-bisa profesi guru dianggap hanya pekerjaan sampingan sementara yang utama adalah jadi content creator.
Siswa tentu rugi besar. Mereka tidak hanya diinstrumentalisasi untuk mengenyangkan ego sang guru, tetapi juga kehilangan kesempatan untuk mendapatkan layanan pembelajaran yang mendalam dan berkualitas.
Saat bersamaan, tanpa sadar mereka dibentuk menjadi pribadi yang menormalisasi kepalsuan dan kepura-puraan sambil mengagung-agungkan sensasi dan menginjak-injak substansi.
Kerugian juga terjadi karena guru kehilangan banyak waktu untuk belajar mendalami dan memperkaya materi pembelajaran.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa media sosial yang mengiming-imingi penghasilan, memperlakukan pembuat konten layaknya karyawan yang harus produktif sekaligus aktif melakukan interaksi (berkomentar/menanggapi) di dalam platform.
Menjadi kian runyam ketika semua itu dilakukan dengan girang hingga melupakan tugas utama.
Ahli neurosains menjelaskan perasaan itu muncul dari naiknya produksi zat dopamin dalam otak yang dipicu oleh aktivitas di media sosial.
Paparan media sosial ternyata meningkatkan pelepasan dopamin dari otak yang menciptakan rasa senang instan.
Semakin lama menikmati media sosial, semakin banyak pula dopamin terproduksi. Itulah yang menimbulkan kecanduan (Nature Neuroscience, 2023).
Atas dasar kesenangan instan yang bikin candu tersebut, proses pembelajaran jadinya diatur hanya untuk mendapat reaksi menyenangkan dari penonton.
Sebutlah misalnya seorang guru mengunggah video dirinya yang sedang menjelaskan materi dalam posisi duduk dengan sorotan kamera ke wajah secara close up, ternyata banyak ditonton dan banjir sanjungan, guru tersebut bisa menyimpulkan itu adalah cara mengajar terbaik.
Apalagi ketika ia coba menyajikan video lain yang tidak close up dan ternyata sepi atensi dan tanggapan.
Opini: Prada Lucky dan Tentang Degenerasi Moral Kolektif |
![]() |
---|
Opini: Drama BBM Sabu Raijua, Antrean Panjang Solusi Pendek |
![]() |
---|
Opini: Kala Hoaks Menodai Taman Eden, Antara Bahasa dan Pikiran |
![]() |
---|
Opini: Korupsi K3, Nyawa Pekerja Jadi Taruhan |
![]() |
---|
Opini: FAFO Parenting, Apakah Anak Dibiarkan Merasakan Akibatnya Sendiri? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.