Opini
Opini: Jembatan Kembar Liliba Kupang
Bagaimana mengantisipasi sehingga tindakan yang tidak kita terima ini bisa dikurangi malah bisa mencapai titik nol?
Oleh: Robert Bala
Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik, Fakultas Ilmu Politik Universidad Complutense de Madrid – Spanyol
POS-KUPANG.COM - Bunuh diri, frase yang terlalu menyeramkan. Menampilkan frase ini dalam sebuah tulisan seakan ada upaya merekam tragedi yang memilukan banyak orang.
Tetapi tidak membahasnya, juga bukan solusi. Salah satunya adalah cara mengakhiri hidup dengan menjatuhkan diri dari ketinggian jembatan.
Jembatan Liliba di Kota Kupang yang dibangun tahun 1990 dan digunakan tahun 1994 termasuk tempat yang digunakan sejumlah orang untuk menjatuhkan diri.
Karenanya, pembangunan jembatan kembar sejak Oktober 2024, mestinya mendorong perhatian untuk mengantisipasi agar tidak terjadi kasus serupa.
Kasus ini memunculkan pertanyaan yang menjadi latar belakang tulisan ini: Mengapa banyak orang terutama remaja memilih mengakhiri hidup dari ketinggian seperti jembatan?
Bagaimana mengantisipasi sehingga tindakan yang tidak kita terima ini bisa dikurangi malah bisa mencapai titik nol?
Kisah bunuh diri di ketinggian jembatan sebenarnya tidak saja terjadi di Jembatan Liliba.
Di Swiss, terdapat Lorzentobelbrücke. Jembatan lengkung dengan batu cadas di bawahnya menjadi tempat terjadinya aksi bunuh diri.
Tidak sedikit kasus telah terjadi hal mana bisa dilihat dari tempat kecil yang dijadikan tempat pemasangan lilin merah dengan nama-nama yang tercatat.
Di Inggris, Jembatan gantung Bristol juga menjadi tempat yang menyeramkan. Jembatan yang dibangun di atas jurang dan sungai Avon ini menjadi tempat bunuh diri dengan jumlah 8 orang.
Di Indonesia, Jembatan Bareleng yang memiliki ketinggian 118 meter juga menjadi tempat bunuh diri.
Tahun 2024 saja terjadi 4 kasus di tempat yang sama. Meski sudah patroli keliling, tetapi jembatan ini menjadi saksi kekerasan yang tidak patut dicontohi.
Tidak Menghendaki
Pertanyaan menarik, apakah orang yang melakukan aksi bunuh diri atau pencobaan bunuh diri benar-benar menghendaki kematian sebagai solusi?
Menurut Kepala Program Studi Bimbingan Konseling Unrika Ramdani, dari banyak orang yang berhasil digagalkan niat aksi bunuh diri, mereka ungkapkan bahwa tidak semua orang yang bunuh diri ingin mati.
Dalam pendampingan, diperoleh informasi bahwa ada orang yang ingin bunuh diri selain karena termotivasi oleh berita juga karena ingin agar kematiannya diperhatikan banyak orang (Kompas, 22/7/2024).
Lalu mengapa orang (terutama remaja), berani melakukan tindakan yang nekat ini?
Pertama, tindakan bunuh meski dilakukan secara sangat cepat dengan memanfaatkan waktu yang kadang sangat singkat, tetapi bila ditelusuri, ia merupakan rangkaian yang sudah terjadi dalam waktu yang lama.
Awalnya muncul ideasi bunuh diri. Di sini ketika menghadapi persoalan, orang secara spontan mengungkapkan secara ‘ceplas-ceplos’ akan bunuh diri.
Namun ungkapan pertama kali ini ketika terjadi secara berulang-ulang, bisa jadi hadir dan direkam dalam pikiran bawah sadar dan bisa meningkat kepada pencobaan bunuh diri. Hal ini bisa dilakukan dengan melukai diri sendiri (self injury).
Kedua, oleh minimnya keterbukaan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Komunikasi dan keterbukaan kadang tidak dianggap penting karena remaja misalnya menganggap bahwa persoalan (stress) yang dialami sudah tidak bisa diatasi.
Di sini remaja biasanya langsung melakukan seperti sabotase diri dengan mengklaim tentang ketidakmungkinan menyeleesaikan persoalan dan penilaian bahwa persoalan itu sudah sangat parah.
Komunikasi seperti bila dibandingkan antara wanita dan pria maka terlihat perbedaan yang tajam.
Dalam berbagai penelitian ditemukan bahwa pada tahap idease bunuh diri, lebih banyak wanita yang mengungkapkan keinginan bunuh diri.
Mereka menceritakan atau memasang status di medsos yang menggambarkan suasana batin. Remaja pria biasanya lebih kurang. Tetapi saat terjadi tindakan bunuh diri justru laki-laki yang lebih banyak.
Di sini bisa jadi penjelasan bahwa laki-laki mestinya lebih diarahkan untuk menjadi terbuka mengungkapkan perasaan hati dan tidak menutupnya.
Hal itu menjadi sebab mengapa di banyak negara perbandingan wanita dan laki-laki dalam aksi bunuh diri adalah 1:2. Di Amerika Serikat malah 1: 4.
Data di atas mau mengingatkan bahwa tidak ada orang yang menghendaki kematian pada dirinya.
Semua orang yang telah lahir memiliki perjuangan untuk hidup. Tindakan bunuh diri yang terjadi begitu cepat, bila dipikirkan lebih matang tidak akan mengantar orang pada tindakan yang fatal ini. Singkatnya, tidak ada orang yang mengharapkan hal itu terjadi.
Menghadirkan Penghalang
Mengingat tindakan bunuh diri itu diwujudkan begitu cepat maka yang perlu dilakukan adalah bagaimana menghalangi terjadinya tindakan bunuh diri.
Hal ini telah menjadi sebuah penelitian yang dilakukan oleh Olive Bennewith, Mike Nowers, dan David Gunnell dalam penelitian terhadap aksi bunuh diri di Jembatan Gantung Clifton.
Dalam artikel berujudul: Effect of barriers on the Clifton suspension bridge, England, on local patterns of suicide: implications for prevention, Bennewith dkk menyimpulkan bahwa pembuatan penghalang di jembatan sangat penting.
Kesimpulan itu diambil karena setelah didrikan penghalang di Clifton, terjadi penurunan hampir 50 persen dari 8 kejadian per tahun menjadi hanya 4 kali setahun.
Adanya data dan penelitian ini mestinya menjadi masukan bagi Pemerintah (Kota dan Provinsi NTT) yang tengah membangun jembatan kembar Liliba.
Mestinya dari pengalaman terdahulu memungkinkan agar dalam pembangunan kembaran jembatan dibangun pula penghalang terjadinya aksi bunuh diri.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah mencantumkan beberapa meter sebelum jembatan, nomor telepon / WA dari relawan yang bisa membantu untuk mereka berkonsultasi.
Kupang sebagai kota ‘seribu gereja’, memiliki banyak orang yang tentu sangat kompeten untuk membantu.
Tetapi keberadaan relawan perlu mendapatkan perhatian dan bantuan dari pemerintah mengingat kematian akibat bunuh diri bahkan lebih tinggi dari kematian akibat kecelakaan lalulintas.
Artinya, kalau pemerintah sangat memberikan perhatian agar tidak terjadinya kecelakaan akibat lalulintas, mestinya perhatian untuk mengantisipasi terjadinya bunuh diri juga diberikan malah lebih dari itu.
Selain telepon, spanduk yang mengingatkan orang yang memiliki ideasi bunuh diri juga penting.
Di sana disebutkan (misalnya), bunuh diri bisa dianggap melupakan persoalan yang dihadapi, tetapi hal itu akan menjadi beban bagi keluarga yang ditinggalkan. (*)
DISCLAIMER: Artikel ini tidak bertujuan menginspirasi tindakan bunuh diri.
Anda yang merasa memerlukan layanan konsultasi masalah kejiwaan, terlebih pernah terbersit keinginan melakukan percobaan bunuh diri, jangan ragu bercerita, konsultasi atau memeriksakan diri ke psikiater di rumah sakit yang memiliki fasilitas layanan kesehatan jiwa.
Berbagai saluran telah tersedia bagi Anda untuk menghindari tindakan bunuh diri. Terima kasih.
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.