Opini
Opini: Koperasi Harian, Siklus Utang yang Tak Berujung
Menurut data Kompas (2023), NTT memiliki 4.291 koperasi yang berperan penting dalam perekonomian masyarakat.
Ketakutan dianggap kurang mampu atau “ketinggalan zaman” mendorong individu mengambil risiko finansial yang seharusnya bisa dihindari.
Di NTT, fenomena ini tampak jelas dalam pola konsumsi masyarakat. Alih-alih menggunakan pinjaman untuk hal produktif, banyak yang menggunakannya untuk membeli barang konsumtif seperti ponsel baru, kendaraan, atau biaya pesta adat yang besar.
Bunga Berlipat, Beban Kian Berat
Koperasi harian di NTT umumnya menawarkan pinjaman dengan bunga yang jauh lebih tinggi dibandingkan lembaga keuangan resmi.
Rata-rata bunga yang dikenakan bisa mencapai 30-40 persen dalam satu bulan.
Artinya, jika seseorang meminjam Rp1 juta, dalam sebulan ia harus mengembalikan sekitar Rp1,3 juta hingga Rp1,4 juta.
Pakar ekonomi Muhammad Chatib Basri dalam seminar di Universitas Indonesia (2023) menegaskan bahwa pinjaman berbunga tinggi yang tidak dikelola dengan baik justru memperburuk kondisi ekonomi masyarakat kecil.
Alih-alih membantu, pinjaman semacam ini hanya menjerumuskan mereka ke dalam kemiskinan yang lebih dalam.
Sayangnya, banyak masyarakat yang tidak memahami konsekuensi dari pinjaman berbunga tinggi.
Minimnya literasi keuangan membuat mereka terjebak dalam siklus utang yang sulit diputus.
Dampak Psikologis dan Sosial
Utang yang terus menumpuk tidak hanya berdampak pada kondisi finansial, tetapi juga pada kesehatan mental.
Tekanan untuk membayar cicilan yang terus membengkak dapat memicu stres, kecemasan, bahkan depresi.
Di NTT, fenomena ini semakin memperburuk kualitas hidup masyarakat, terutama di kalangan ekonomi menengah ke bawah. Budaya “ikut-ikutan” dalam berutang menciptakan efek domino yang sulit dihentikan.
Ketika satu orang mulai meminjam, yang lain pun merasa harus melakukan hal serupa agar tidak dianggap berbeda atau kurang mampu.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.