Opini
Opini: Koperasi Harian, Siklus Utang yang Tak Berujung
Menurut data Kompas (2023), NTT memiliki 4.291 koperasi yang berperan penting dalam perekonomian masyarakat.
Oleh: Tian Rahmat
Alumnus Filsafat IFTK Ledalero Flores, Pemerhati Isu-isu strategis
POS-KUPANG.COM - Di Nusa Tenggara Timur (NTT), koperasi harian menjamur bak cendawan di musim hujan.
Kemudahan mengakses pinjaman tanpa jaminan besar menjadi daya tarik utama. Cukup dengan KTP dan beberapa dokumen sederhana, dana segar bisa diperoleh dalam hitungan jam.
Namun, di balik kemudahan itu, terdapat jerat finansial yang kerap membuat masyarakat sulit melepaskan diri dari lingkaran utang.
Fenomena Koperasi Harian di NTT
Menurut data Kompas (2023), NTT memiliki 4.291 koperasi yang berperan penting dalam perekonomian masyarakat.
Secara teori, koperasi seharusnya berlandaskan prinsip kesejahteraan anggota.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa sebagian koperasi justru beroperasi layaknya rentenir. Mereka menawarkan pinjaman dengan bunga tinggi yang membebani peminjam.
Di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), praktik rentenir berkedok koperasi harian semakin marak.
NTT Hits (2023) melaporkan bahwa banyak warga terjerat utang akibat pinjaman dengan bunga tinggi.
Situasi ini diperparah oleh minimnya pengawasan terhadap koperasi-koperasi yang beroperasi tanpa standar etika yang jelas.
Jerat Konsumtif dan Tekanan Sosial
Sebagian besar peminjam bukanlah pelaku usaha yang menggunakan pinjaman untuk meningkatkan produktivitas, melainkan individu yang terdorong oleh gaya hidup konsumtif.
Keinginan untuk “tampil mampu” di tengah tekanan sosial sering kali membuat seseorang meminjam uang tanpa mempertimbangkan kemampuan finansialnya.
Morgan Housel dalam bukunya The Psychology of Money (2020) menjelaskan bahwa tekanan sosial berkontribusi besar terhadap keputusan finansial yang buruk.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.