Opini

Opini: Filsafat Cinta bagi Generasi Milenial

Ia tidak terikat oleh sekat ruang dan waktu, melainkan hadir sebagai kekuatan yang mendorong manusia untuk terus mencari, mengenal, dan memahami. 

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Sirilus Aristo Mbombo. 

Oleh: Sirilus Aristo Mbombo
Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, NTT

POS-KUPANG.COM - Secara ontologis, eksistensi manusia di dunia ini berakar dalam getaran kasih yang tak terperikan. 

Cinta, sebagai manifestasi ilahi, bukan sekadar ekspresi emosional yang menetap dalam batin, melainkan suatu daya fundamental yang menghidupkan esensi kemanusiaan dalam keteraturan kosmis. 

Ia merupakan denyut yang menyelaraskan makna kehidupan dengan harmoni semesta, menjembatani jiwa dengan entitas yang dicintai, baik dalam bentuk keindahan, kebesaran, maupun keterikatan dengan sesuatu yang transenden.

Cinta muncul sebagai resonansi terdalam dari jiwa yang bergetar dalam kekaguman dan afinitas.

Ia tidak terikat oleh sekat ruang dan waktu, melainkan hadir sebagai kekuatan yang mendorong manusia untuk terus mencari, mengenal, dan memahami. 

Namun, cinta bukanlah sekadar pengalaman afektif yang bersumber dari pertemuan empiris, melainkan suatu panggilan eksistensial yang mengarahkan manusia menuju pencerahan.

Dalam realitasnya, cinta merupakan paradoks: ia membahagiakan sekaligus mencemaskan, memberikan makna sekaligus mengguncang eksistensi. 

Tidak jarang, manusia tersesat dalam labirin cinta, kehilangan orientasi dalam arus perasaan yang tak terdefinisikan. 

Bagi generasi milenial, cinta kerap direduksi menjadi fenomena yang rapuh, di mana relasi interpersonal berjalan tanpa tujuan yang jelas, menyerupai arus yang mengalir tanpa muara. 

Romantisisme, dalam banyak kasus, kehilangan substansinya dan berubah menjadi permainan emosi yang menjerumuskan jiwa dalam ketidakpastian.

Masa remaja adalah fase transisi, saat jiwa dan raga mengalami transformasi yang signifikan.

Namun, kematangan biologis sering kali tidak sejalan dengan kematangan psikologis. 

Oleh karena itu, banyak individu yang terjebak dalam ilusi cinta yang dangkal, membiarkan diri mereka hanyut dalam gelombang afeksi tanpa landasan yang kokoh. 

Relasi yang semestinya menjadi medium pemahaman dan pendewasaan justru bertransformasi menjadi sekadar ekspresi impulsif yang tidak terkendali.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved