Opini
Opini: Hikmah Alam Dalam Tragedi Pukuafu
Empati kemanusiaan atas korban manusia dan keluarga yang kehilangan orang-orang terkasih, tidak bisa diperoleh di ruang pengadilan.
Oleh: Paul Bolla
Warga Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Hari ini, 31 Januari, 19 tahun lalu, saya mengenang tenggelamnya kapal motor penyeberangan (KMP) JM Fery Citra Mandala Bahari di Selat Pukuafu, dalam pelayaran Kupang- Rote.
Hujan badai disertai angin kencang telah menguburkan kapal dan semua isi kapal, beserta ratusan orang, ke dasar selat Pukuafu, sekitar pukul 21.00 Wita.
Di tengah badai itu, para awak KRI Panrong, KRI Tongkol, Kapal Patroli Polairud NTT, wartawan dan para sukarelawan kemanusiaan berjibaku mempertaruhkan nyawa menyelamatkan para penumpang di tengah pekatnya kegelapan malam.
Banyak orang tewas. Tragedi yang sangat memilukan.
Lokasi kejadian belum jauh dari Kupang dan masih terjangkau jaringan selular. Maka banyak kisah pilu ibarat siaran langsung menuju kematian.
"Doakan katong samua... Kalo beta su sonde ada suara lagi di telpon... beta su tenggelam. Selamat tinggal..."
Maka pecahlah tangis nan memilukan di seberang pesawat telpon.... Tak bisa berbuat apa-apa. Selain berdoa.
Hasil penyelesaian kasus ini... alamlah yang jadi kambing hitam. Vonis: Alam bersalah atas banyak orang kehilangan nyawanya.
Tak seorang pun dihukum atas tewasnya ratusan orang. Baik yang jenazahnya berhasil ditemukan maupun hilang atau tak pernah ditemukan jasadnya.
Sungguh aneh. Aturan dalam pelayaran itu sangat detail hingga teknis. Semua aturan bertujuan untuk keamanan dan keselamatan pelayaran.
Fisik kapal harus laik melaut. Aturannya banyak. Mulai hasil doking rutin.
Persyaratan kelengkapan keselamatan --baik kualitas maupun kuantitas, seperti pelampung, life jacket, sekoci, isi sekoci (liferaft).
Isi liferaft (rakit penyelamat) banyak sekali. Liferaft dirancang untuk dapat mengapung dan dapat menampung sejumlah orang dalam waktu yang cukup lama, dan biasanya dilengkapi dengan peralatan seperti radio, lampu, obat-obatan, makanan, serta air untuk bertahan hidup.
Belum lagi soal administrasi pelayaran. Surat-surat kapal saat mengajukan permohonan surat izin berlayar (SIB), data jumlah penumpang (manifest).
Begitu juga instansi yang terlibat hingga kapal boleh berlayar. Ada Syabandar, BMKG, Navigasi, ASDP/Perusahaan pelayaran.
Ada anak buah kapal (ABK). Ada nakhoda, jurumudi, bagian kamar mesin, pengatur penumpang dan kendaraan, dan sebagainya.
Setelah kejadian tragis di Pukuafu itu, terbuktilah banyak hal karena kelalaian orang. Jumlah penumpang lebih banyak dari yang tercatat dalam manifes.
Jumlah jenazah yang ditemukan dan orang yang berhasil diselamatkan lebih banyak dari nama penumpang yang tercatat.
Semua itu proses itu ada manusia yang bertanggung jawab mengurusnya. Yang tanda tangan SIB, bukan alam. Yang mencatat nama penumpang berdasarkan tiket yang terjual, bukan alam. Yang menerima uang penumpang dari yang tidak beli tiket, bukan juga alam.
Sudah pasti ada banyak pihak para pemangku kepentingan yang tercatat dalam prosedur sebuah kapal boleh melaut atau berlayar. Pasti ada yang lalai, atau sengaja mencari keuntungan.
Aneh bin ajaib. Tak seorangpun yang bisa diminta pertanggungjawabannya di pengadilan. Tak seorangpun yang dihukum. Alamlah yang bersalah.
Empati kemanusiaan atas korban manusia dan keluarga yang kehilangan orang-orang terkasih, tidak bisa diperoleh di ruang pengadilan.
Tidak ada seorangpun yang dihukum. Kelalaian sejenis pun terus berulang. Pemangku kepentingan dan pengguna tidak kapok.
Jika tidak ada insiden ada yang meraup cuan. Bangga dan membawa pulang rejeki untuk kawan-kawan atau keluarga.
Lihatlah masih ada penumpang kapal yang bangga bercerita. Sukses menumpang secara cuma-cuma.
Bangga membayar tunai di bawah harga resmi. Murah. Tanpa tiket. Tanpa tercatat dalam manifes resmi. Dan tanpa perlindungan asuransi.
Banjir airmata sembilan belas tahun lalu, berlalu begitu saja bersama derasnya air hujan, tiupan angin kencang, dan pusaran arus laut.
Alam telah memberi pelajaran. Tapi manusia tak pernah belajar dan mengambil hikmahnya.
Taburlah rampai ditepi pantai untuk mengenang tragedi pukuafu. Keadilan alam akan mencari jalannya. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.