Opini
Opini: Tren Arus Bunuh Diri di NTT, sebuah Analisis Sosiologis
Durkheim memandang fenomena bunuh diri bukan saja sebagai gejala psikologis atau individual tetapi juga sebagai gejala sosiologis...
Oleh: Guntur Plewang
Tinggal di Skolastikat Hati Maria Kupang
POS-KUPANG.COM - Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) baru-baru ini dihebohkan dengan kasus bunuh diri yang dilakukan seorang prajurit TNI di Kabupaten Rote Ndao pada Minggu, 12 Januari 2025.
Selang lima hari kemudian, pada Jumat, 17 Januari, kasus serupa menimpa seorang mahasiswa di salah satu universitas di Kota Kupang yang masih berusia 25 tahun.
Masih kasus yang sama, pada Senin 20 Januari, seorang karyawan minimarket di kelurahan Penkase Oeleta, Kecamatan Alak, Kota Kupang ditemukan tewas mengenaskan di dalam gudang minimarket tempat ia bekerja. Mirisnya, tiga korban ini mengakhiri hidup mereka dengan cara gantung diri.
Belum sampai satu bulan, kasus bunuh diri sudah memakan tiga korban jiwa. Tak pelak, bunuh diri telah menjadi fenomena tren di Provinsi ini.
Angka kematian akibat bunuh diri bergerak maju dalam jangka waktu yang tak lama. Apakah ini yang dinamakan arus bunuh diri?
Penulis akan meninjau kasus bunuh diri yang belakangan ini kembali menjadi sorotan dengan suatu pendekatan sosiologis.
Tren Arus Bunuh Diri
Emile Durkheim, seorang sosiolog dan antropolog yang terkenal asal Prancis, dalam bukunya Suicide: A Study in Sociology yang dipublikasikan pada tahun 1987 menyajikan banyak pembahasan menarik tentang bunuh diri.
Menurut Durkheim (1975 : 44), bunuh diri merupakan segala bentuk kematian baik secara langsung maupun tidak langsung oleh tindakan negatif atau positif dari korban tersebut yang ia ketahui akibat dari tindakannya itu.
Durkheim memandang fenomena bunuh diri bukan saja sebagai gejala psikologis atau individual tetapi juga sebagai gejala sosiologis yang berpengaruh pada tindakan individu.
Dia memperlihatkan bagaimana satu bentuk masyarakat tertentu bisa menentukan tipe bunuh diri dengan tingkat bunuh diri tertentu.
Disamping itu, ia juga menegaskan bahwa bunuh diri cenderung terjadi karena kurangnya kohesi sosial dalam satu lingkungan masyarakat. Hilangnya ikatan sosial dapat memicu tumbuh kembangnya kesuburan egoisme.
Oleh karena itu, Durkheim menilai bahwa hanya solidaritas yang lahir dari jejaring organisasi sosial yang erat dapat melindungi anggota masyarakatnya dari arus bunuh diri (Rudyansjah, 2015:54)
Tentu pemikiran Durkheim ini masih sangat relevan apabila ditempatkan dalam
konteks yang terjadi di NTT sekarang ini.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.