Opini
Opini: Menjaga Relevansi Belis
Sebagai salah satu warisan budaya yang masih dipertahankan, belis memiliki makna mendalam dalam kehidupan masyarakat.
Tidak jarang, ketidaksepakatan dalam urusan belis berujung pada gagalnya pernikahan.
Hal ini kemudian berdampak pada pemahaman masyarakat tentang pernikahan itu sendiri. Sehingga alih-alih menjadi simbol penghormatan, belis dapat dianggap sebagai ajang transaksi yang merendahkan nilai hubungan pernikahan.
Dan apabila dibiarkan, budaya belis justru kehilangan nilai luhur yang diwariskan oleh leluhur.
Belis dalam Perspektif Hukum
Dedy Manafe S,H. M,Hum, Akademisi Universitas Cendana dalam Podcast di Pos Kupang, menjelaskan bahwa dari sudut pandang hukum di Indonesia, UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 menyatakan bahwa perkawinan dianggap sah jika dilaksanakan menurut hukum agama dan kepercayaannya masing-masing.
Apabila secara agama dianggap sah, maka secara hukum negara perkawinan tersebut dianggap sah.
Namun, dalam praktiknya seringkali dalam proses perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum agama, tradisi adat atau budaya (hukum adat) dipertanyakan pelaksanaanya, sehingga apabila belum menyelesaikan ketentuan adat seperti belis dan lain-lain maka perkawinan belum dapat dilaksanakan.
Hal ini memberikan ruang bagi hukum adat tidak terlepas dalam pernikahan, termasuk praktik belis.
Namun jika dilihat lebih lanjut, sejatinya belis bukan syarat utama dalam hukum negara untuk mengesahkan sebuah perkawinan.
Sebagai tradisi adat, belis adalah pelengkap yang memperkuat legitimasi sosial dan budaya, bukan kewajiban mutlak dalam pandangan hukum nasional. Di sinilah sering kali terjadi gesekan, antara tradisi yang dihormati masyarakat atau norma prosedural dalam era modern.
Upaya Agar Belis Tetap Relevan
Dalam menjaga relevansi belis, sejatinya hal pertama yang perlu dilakukan adalah pembaharuan makna belis.
Belis pada intinya tetap layak dilestarikan selama dipahami sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan, bukan sebagai transaksi ekonomi. Pemaknaan ini sejalan dengan nilai-nilai budaya timur yang menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM).
Namun, jika belis dianggap sebagai harga perempuan, tradisi ini justru bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM yang menjamin kebebasan untuk menikah. Oleh karena itu, perlu adanya pembaruan pemahaman terhadap belis.
Kedua, para tokoh adat dan opinion leader dari setiap suku perlu memberikan dan diberikan pemahaman yang lebih manusiawi, yang mengutamakan nilai-nilai budaya tanpa memberatkan.
Opini: Prada Lucky dan Tentang Degenerasi Moral Kolektif |
![]() |
---|
Opini: Drama BBM Sabu Raijua, Antrean Panjang Solusi Pendek |
![]() |
---|
Opini: Kala Hoaks Menodai Taman Eden, Antara Bahasa dan Pikiran |
![]() |
---|
Opini: Korupsi K3, Nyawa Pekerja Jadi Taruhan |
![]() |
---|
Opini: FAFO Parenting, Apakah Anak Dibiarkan Merasakan Akibatnya Sendiri? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.