Opini

Opini: Menjaga Relevansi Belis

Sebagai salah satu warisan budaya yang masih dipertahankan, belis memiliki makna mendalam dalam kehidupan masyarakat.

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Emris Yeverson Kaja Jade. 

Oleh: Emris Yeverson Kaja Jade
Masyarakat Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Akhir-akhir ini, tradisi belis menjadi bahan diskusi yang hangat di masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT). 

Sebagai salah satu warisan budaya yang masih dipertahankan, belis memiliki makna mendalam dalam kehidupan masyarakat. 

Namun, dalam konteks modern, relevansi dan pemaknaannya sering kali menimbulkan perdebatan. Jika dilihat secara etimologi, belis berasal dari kata beli yang berarti membeli, memberi, atau membayar (Yanuarius L W &  Wahyu P, 2012). 

Berbagai suku di NTT memiliki istilah yang berbeda untuk menyebut belis,
menyesuaikan dengan bahasa daerah masing-masing. 

Namun, esensinya tetap sama, belis adalah mahar yang merupakan pemberian wajib dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan saat perkawinan.

Belis sebagai Tradisi Budaya

Belis adalah tradisi yang tumbuh dan berkembang di hampir semua suku atau etnis di NTT.

Tradisi ini tidak hanya diakui sebagai bagian budaya masyarakat, tetapi juga menjadi identitas bagi masyarakat NTT. Dalam pelaksanaannya, belis biasanya hadir saat peristiwa pernikahan sebagai simbol penghormatan. 

Budaya ini dianggap sebagai bentuk penghargaan dari keluarga mempelai laki-laki kepada keluarga mempelai perempuan. 

Belis juga dianggap mencerminkan tanggung jawab, tanda terima kasih, permohonan izin, serta niat baik dari pihak laki-laki untuk membangun rumah tangga. Namun, perkembangan zaman telah menyebabkan perubahan cara pandang masyarakat terhadap belis.

Secara substansi, belis seringkali diartikan sebagai bentuk menghargai dan menghormati keluarga perempuan. Namun, ada kecenderungan bahwa belis diidentikkan dengan transaksi ekonomi atau membeli perempuan. 

Pemahaman ini jelas menyimpang dari makna asli belis. Dalam budaya NTT, besaran belis biasanya ditentukan berdasarkan beberapa aspek, seperti status sosial, pendidikan, dan hierarki adat. 

Perhitungan ini di satu sisi memberikan penghargaan terhadap nilai individu, tetapi di sisi lain dapat menjadi beban berat bagi pihak laki-laki.

Hal ini sering kali menimbulkan masalah, terutama ketika tuntutan belis yang terlalu tinggi menyebabkan hambatan finansial yang serius atau bahkan konflik keluarga. 

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved