Opini
Opini - Mendorong Yang Muda Bertahan di Pertanian
Kaum muda menjadi potensi pembangunan NTT jika memperoleh pendidikan dan pelatihan yang baik.
Selain itu, kaum muda nampaknya memiliki pandangan bahwa profesi petani adalah profesi orang usia tua, kotor, lekat dengan kemiskinan, pendapatan rendah dan tidak pasti.
Petani masih identik dengan berkebun dan beternak skala kecil yang sifatnya paruh waktu, sampingan dan menjadi sekedar hobi.
Akibatnya sehingga melupakan konsep budgeting dalam management usaha. Contoh kasus seperti pelihara babi masih ada yang hanya memberikan ,makanan sisa rumah tangga tanpa dicampur dengan konsentrat sehingga umur panen babi menjadi terlalu lama.
Ada juga yang sudah beralih ke semi modern dengan pemberian pakan tambahan tapi tidak pasti secara rencana kapan harus dijual sehingga biaya pemeliharaan menjadi sangat tinggi. Hal itu dipenguruhi oleh ketikpastian pasar.
Di NTT, keengganan kaum muda masuk ke sektor pertanian disebabkan faktor yang lebih kompleks. Survei ekonomi pertanian 20024 menemukan 14 hambatan produktivitas usaha pertanian perorangan di NTT (BPS, 2024).
Ada empat hambatan utama. Pertama adalah hama dan penyakit (74,56 %). Kasus-kasus flu babi, flu burung, penyakit yang menyerang pisang, hama belalang sangat merugikan petani.
Baca juga: Yayasan Arnoldus Wea Gelar Bincang Jurnalistik di Bajawa, Hadirkan Jurnalis dan Pegiat Literasi
Serangan ASF (African swine flu) di NTT tahun 2020 mematikan 500.000 ekor babi (Antara, 7/2/023). Padahal ternak babi menjadi salah satu sumber pendapatan utama warga NTT.
Ada beberapa anak muda yang sudah bergerak di bidang pertanian yang bersifat semi modern dengan meminjam modal dari bank tapi tidak berjalan sampai panen karena diserang penyakit.
Solusi untuk penanganan hama dan penyakit di bidang pertanian harus dicari agar tidak membuat trauma anak muda yang sebelumnya memiliki rencana usaha di bidang pertanian dengan sistim modern.
Hambatan kedua kondisi alam (74,14 %). NTT memiliki iklim kering dengan musim hujan yang pendek. Total luas lahan Garapan NTT sebesar 4,7 juta ha (https://brin.go.id).
Dari luas ini, lahan kering mencapai 3,26 juta ha (69,4 %). Kondisi ini menjadi tantangan untuk mengembangkan teknologi pertanian yang tepat.
Masalah lain adalah modal kecil dan terbatas (27,34 %), Akses terhadap bahan input sulit (19,35) %; kesulitan akses ke kredit (7,08 %). Bertani butuh modal besar juga karena tingginya biaya jasa pengiriman barang dari Jawa ke beberapa wilayah NTT.
Ongkos angkut Surabaya ke Flores mencapai Rp. 2.000/ kg sd 10.000/kg. Biaya ke kupang Rp.2500/kg. Ini secara otomatis akan berdampak pada tingginya biaya barang seperti konsentrat, pakan ayam yang kemudian akan berpengaruh pada harga jual hasil pertanian menjadi sangat tinggi yang tidak mampu dijangkau oleh konsumen lokal.
Baca juga: Yayasan Arnoldus Wea Dhegha Nua Bagi Bingkisan Paskah di Watu dan Leke Ngada
Dengan semua situasi ini, dapat dipahami orang-orang muda memilih keluar dari sektor pertanian. Semua Keputusan yang rasional mengingat rendahnya manfaat balik jika bertahan menjadi petani.
Bagaimana menahan anak muda tidak ‘lari’ dari sektor pertanian? Pemda perlu mencari anak muda sukses di beberapa kabupaten yang memiliki usaha di bidang pertanian untuk menjadi penggerak, klasifikasikan agar ada fokus Gerakan sesuai kebutuhan dan situasi kondisi setiap kabupaten.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.