NTT Terkini

Psikolog : Bunuh Diri Tidak Pernah Terjadi karena Satu Faktor Tunggal

Psikolog Juliana Marlin Y. Benu, S.Psi., M.Psi mengatakan, aksi bunuh diri (bundir) tidak pernah terjadi karena satu faktor tunggal

Penulis: Michaella Uzurasi | Editor: Kanis Jehola
POS-KUPANG.COM/MICHAELLA UZURASI
PODCATS - Psikolog Juliana Marlin Y. Benu dan Pdt. Emeritus Paoina Bara Pa bersama host Koordinator Liputan Pos Kupang, Novemy Leo dalam Podcast Pos Kupang, Kamis (16/1/2025). 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Michaella Uzurasi 

POS-KUPANG.COM, KUPANG - Psikolog Juliana Marlin Y. Benu, S.Psi., M.Psi mengatakan, aksi bunuh diri (bundir) tidak pernah terjadi karena satu faktor tunggal melainkan banyak faktor yang mendukung seseorang mengambil tindakan ini. 

Dalam Podcast Pos Kupang, Kamis (16/1/2025), Juliana menyampaikan, tidak pernah ada orang yang merencanakan untuk mengakhiri kehidupan dengan cara bundir. 

Dia mengungkapkan, data WHO menunjukkan bahwa angka bundir paling tinggi di usia 19 sampai 29 tahun. 

"Tapi kenapa kemudian angka bundir terus menerus meningkat, terutama pada orang-orang usia dewasa awal mulai dari 19 sampai 29 tahun. Pada orang-orang yang mengambil keputusan ini, mereka merasa bahwa ini satu-satunya cara mengakhiri penderitaan yang dialami. Ini satu-satunya jalan untuk menyelesaikan tekanan yang dirasa tidak ada solusi sama sekali. 

Nah yang perlu kita refleksi adalah kenapa dengan begitu banyaknya orang di sekitar kita, dengan begitu kuatnya ikatan sosial kita, masih saja ada orang-orang yang merasa bahwa mereka tidak punya sumber bantuan di sekitar mereka. Kenapa mereka masih merasa bahwa mereka sendiri, kenapa mereka masih merasa bahwa jalan keluar itu tidak ada lagi. Itu yang saya rasa menjadi poin pertama bahwa menjadi peduli dengan siapapun orang-orang yang ada di sekitar kita itu menjadi sangat penting," kata Juliana. 

Penyebab terbesar seseorang mengambil tindakan ini menurut dia adalah karena tekanan yang cukup besar, dirasa tidak ada solusi sama sekali dan tidak melihat ada jalan keluar.

Baca juga: Anggota TNI Bunuh Diri, Gegara Mahar Kawin, Pratu AT Sempat Kirim Pesan WhatsApp ke Pacar

"Perlu saya tegaskan juga bahwa terkait isu bundir tidak pernah kita membahas ini sebagai ada satu faktor tunggal. 

Bundir tidak pernah terjadi karena satu faktor tunggal.  

Selalu ada lapisan-lapisan faktor yang memengaruhi, faktor sosial, faktor keluarga bahkan faktor pribadi orang itu sendiri, pola pribadi orang ini seperti apa yang turut berkontribusi. Menjadi sangat tidak tepat ketika kita melabeli satu peristiwa sebagai penyebab dari orang mengambil keputusan untuk melakukan bundir. 

Orang melakukan bundir itu kan cara penyelesaian masalah yang salah. Nah walaupun belum ada pengalaman secara pribadi tapi kenapa ketika kita sebut jembatan Liliba, apa yang muncul selain foto selfie? Tempat bundir, ngambil keputusan-keputusan untuk bundir. 

Dan pemberitaan itu selalu masif jadi ketika ada hal seperti itu diberitakan secara masif dan diberitakan dengan cara-cara yang terlalu ter-blow up, didramatisir seolah ini peristiwa yang perlu mendapatkan atensi secara besar. 

Pola pemberitaan yang seperti ini saja sebenarnya menjadi jalan untuk orang melihat, meniru, memodeling, ketika mengalami kesulitan hidup dan merasa tidak ada jalan keluar, itu asosiasi tepat dan itu yang selalu ada di sekitar kita. Kalau kita follow akun-akun yang secara lokal dikenal, akun-akun itu memberitakan dengan cara yang mendramatisir, dibuat sangat mengundang atensi," jelasnya. 

Menurut Juliana, media dalam memberitakan harus mengacu pada aturan yang dikeluarkan oleh Dewan Pers tentang pemberitaan isu bundir, salah satunya adalah jangan mendramatisir situasi dan kondisi. 

Baca juga: Anggota TNI Bunuh Diri, Kades Lekunik Rote Ndao NTT Sebut Jenazah Korban Sudah Dievakuasi

"Walaupun saya memahami bahwa itu diperlukan dalam pemberitaan tapi menjadi sensitif, sesederhana kalau ini keluarga saya dan diberitakan seperti ini, apa rasanya saya. 

Ada aturan yang membantu bagaimana isu bundir ini diberitakan tanpa memberikan ide pada orang-orang untuk ditiru dan juga perlu ada peringatan-peringatan di bagian awal bahwa berita ini akan memberitakan tentang isu yang sensitif sehingga perlu kehati-hatian dari para pembaca sehingga menyadari kondisi diri dan lain-lain," ujarnya. 

Sementara dari sisi keluarga, lanjut dia, cukup banyak dinamika yang terjadi pada keluarga yang kehilangan anggota karena bundir. Beberapa penelitian membuktikan bahwa keluarga yang kehilangan anggota dengan cara ini mengalami masa duka yang lebih panjang karena selain kesedihan dan kehilangan, keluarga yang ditinggalkan seringkali punya rasa bersalah yang besar. 

Rasa bersalah biasanya dibarengi pertanyaan-pertanyaan seperti: Kenapa saya tidak menghubungi orang ini, kenapa saya tidak bisa menolong, kenapa saya gagal melindungi? 

"Itu seringkali muncul pada keluarga yang ditinggalkan tidak hanya masa berduka yang panjang tapi mungkin mengalami trauma pada tempat kejadian, trauma pada situasi, trauma pada faktor-faktor yang dianggap penyebab. Selain trauma, kita sangat menjaga ketika misalnya saya punya anggota keluarga yang pernah melakukan bundir, ide itu jadi lebih lekat di saya ketika saya punya masalah. Poses menirunya juga lebih cepat," kata dia. 

Juliana menegaskan, langkah yang harus diambil untuk mengantisipasi kejadian seperti ini sebagai masyarakat umum, empati yang perlu ditingkatkan di zaman sekarang. 

Baca juga: BREAKING NEWS: Anggota TNI di Rote Ndao Tewas Bunuh Diri

Bagi keluarga dan orang-orang terdekat adalah hadir tanpa menilai, mendengarkan tanpa banyak menasehati. 

"Kebanyakan orang-orang kita saat ini, pergi ke keluarga yang membutuhkan dukungan dengan seribu satu konsep bahwa saya harus bilanga a, b, c, saya sudah punya penilaian a, b, c, dan sayangnya itu disampaikan. Nah kebanyakan tidak perlu. Apakah orang-orang yang berduka itu tidak tahu? Mereka tahu jadi lebih baik kita hadir tanpa memberikan pelayanan bahwa orang yang telah pergi ini memang begini dan sebagainya. Itu ditahan saja tidak perlu terlalu banyak berkomentar, menilai dan lain-lain. 

Sebenarnya penting sekali untuk kita membantu keluarga yang ditinggalkan atau orang-orang yang ditinggalkan ini untuk tahu ke mana mereka harus mencari bantuan bahwa ini sangat sulit, ini situasi yang sangat menekan, ke mana mereka harus mencari bantuan supaya mereka tidak mengulangi pola yang sama lagi. 

Nah pencarian bantuan ini tidak hanya ke tenaga profesional tetapi ke orang-orang yang dirasa bisa mendampingi, sesederhana teman dekat ada waktu bercerita, keluarga yang punya kemampuan untuk mendampingi secara psikologis mungkin, jadi walaupun memang pada akhirnya itu sudah menjadi trauma, trauma itu proses yang harus dihadapi bersama tenaga-tenaga profesional," jelas Juliana. 

"Peristiwa bundir itu kecil tapi setelah bundir efeknya jadi besar. Traumanya tidak hanya muncul karena bundir tapi dari semua proses yang terjadi setelah bundir terjadi. Itu yang perlu kita cegah. Padahal yang besar ini tidak perlu terjadi kalau kita semua bisa turut berempati," tandasnya.(uzu)

Ikuti berita POS-KUPANG.com di GOOGLE NEWS

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved