Opini

Opini: Ketika Produk Lokal Ditolak, Apa yang Salah dengan Indomie?

Di balik setiap bungkusnya, tersimpan memori kolektif tentang kebersamaan, kemandirian, dan rasa syukur atas hal-hal kecil yang membuat hidup lebih

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO
ILUSTRASI 

Oleh: Petrus Selestinus Mite
Dosen Prodi Sosiologi FISIP Undana Kupang

POS-KUPANG.COM -  Hampir sebagian besar masyarakat Indonesia tentu sependapat jika Indomie tidak hanya menjadi pengisi perut saja, tetapi juga sumber kebahagiaan sederhana di tengah keterbatasan.

Saat itu, ketika masih kuliah dan menjadi anak kos-kosan, semangkuk Indomie yang dimasak dengan tambahan telur atau sayuran seadanya terasa seperti hidangan mewah. 

Rasanya yang lezat dan praktis membuatnya menjadi pilihan favorit, terutama di tengah malam ketika lapar melanda dan tidak ada warung makan yang buka.

Singkat cerita, Indomie bukan hanya sekadar makanan, tetapi bisa dibilang bagian integral yang menyatu dengan masyarakat Indonesia, menjadi cerita kehidupan banyak orang, teman setia di saat susah serta pengingat akan masa-masa perjuangan. 

Di balik setiap bungkusnya, tersimpan memori kolektif tentang kebersamaan, kemandirian, dan rasa syukur atas hal-hal kecil yang membuat hidup lebih berarti.

Kabar terbaru tentang penarikan Indomie dari pasar Australia karena dugaan tidak sesuai standar kesehatan menjadi pukulan telak, tidak hanya bagi produsen tetapi juga bagi masyarakat Indonesia yang selama ini menjunjung tinggi reputasi produk lokal tersebut (Sanjaya, 2024).

Publik pun bertanya-tanya, apa yang sebenarnya salah dengan Indomie? Apakah ini murni kesalahan manufaktur, kurangnya pengawasan, atau justru ada faktor eksternal yang mempengaruhi persepsi publik terhadap produk ini?

Standar Kesehatan Internasional

Fakta yang tidak terbantahkan bahwa: semua negara memiliki standar kesehatan dan keamanan pangan yang berbeda-beda. 

Australia, misalnya, memiliki FSANZ (Food Standards Australia and New Zealand) yang dikenal sangat ketat dalam mengawasi produk impor (Zealand, 2022). 

Demikian pun di Indonesia yang memiliki Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), yang juga memiliki regulasi serta standar yang ketat dalam pengawasan
obat dan makanan. 

Namun, harus diakui bahwa penarikan Indomie mengindikasikan adanya celah dalam rantai produksi atau distribusi yang tidak memenuhi standar tersebut. 

Hal ini seharusnya menjadi refleksi bagi produsen untuk meningkatkan kualitas dan memastikan bahwa semua produk yang diekspor memenuhi regulasi negara tujuan.

Kasus-kasus semacam ini memang tidak hanya terjadi pada produk Indonesia saja. Ada banyak merek internasional lainnya yang juga pernah mengalami masalah yang sama.

Sehingga kembali menghadirkan pertanyaan refleksi, apakah kasus ini semata-mata masalah kualitas, ataukah ada faktor politik dan ekonomi yang bermain atau berperan di sana?

Kebanggaan yang Perlu di Topang dengan Responsibility

Tentu menjadi simbol dari produk lokal, Indomie memikul beban berat sebagai wajah industri pangan Indonesia di dunia internasional. 

Ketika produk ini bermasalah, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh perusahaan, tetapi juga oleh reputasi produk lokal secara keseluruhan. 

Bayangkan saja Indonesia yang begitu luas, sudah pasti memiliki beragam produk lokal yang sudah terekspost maupun yang belum. 

Jika dizoom sampai di level yang paling kecil, misalnya di desa atau kampung, Indonesia sangat kaya akan produk lokalnya.

Masyarakat Indonesia mempunyai beraneka ragam pangan lokal yang juga turut berkontribusi terhadap perkembangan ekonomi bangsa ini. 

Tantangannya adalah belum secara penuh masyarakat dan Pemerintah mengaktifkan kesadaran kolektif untuk benar-benar bertanggung jawab pada proses pengaktualisasian diri dalam menjaga dan meningkatkan produk-produk lokal ini.

Penolakan terhadap Indomie adalah kesempatan terbaik bagi masyarakat dan pemerintah untuk berbenah diri dan menyiapkan startegi lain. 

Masyarakat yang bangga dengan produk ini, merasa terpukul dan mungkin mulai mempertanyakan kualitas standar produksi dalam negeri. 

Di sisi lain, kasus ini juga menjadi momen bagi produsen untuk menunjukkan tanggung jawabnya. Transparansi terhadap apa yang terjadi dan langkah korektif yang diambil dapat memulihkan kepercayaan konsumen. 

Lebih jauh lagi, pemerintah dan pelaku industri harus bersinergi untuk memastikan bahwa produk-produk lokal lainnya tidak mengalami nasib serupa.

Faktor Persepsi dan Kompetisi Global

Hal lain yang tidak dapat dipungkiri bahwa produk lokal sering kali harus bersaing dengan merek-merek besar dari negara lain. 

Dalam konteks ini, penarikan Indomie dari Australia mungkin saja dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk melemahkan posisi produk lokal di pasar global. 

Oleh karena itu, produsen lokal harus lebih cermat dalam membaca dinamika pasar dan proaktif dalam mempromosikan kualitas produk mereka.

Meningkatkan Kualitas, Memperkuat Reputasi

Proses pembelajaran yang berkelanjutan dari kasus ini adalah sebagai sumber pengingat penting bahwa kualitas adalah kunci untuk bertahan di pasar internasional. 

Produsen Indomie perlu memastikan bahwa setiap tahap produksi, mulai dari pemilihan bahan baku hingga distribusi, diawasi dengan ketat sesuai standar internasional. 

Selain itu, kolaborasi dengan pihak berwenang dan lembaga sertifikasi dapat membantu memastikan bahwa produk local mendapatkan pengakuan yang layak.

Cerita-cerita masa kecil tentang makan mi instan, hingga dewasa menjadi anak kos dan bekerja masih tetap makan Indomie, apalagi di musim hujan dengan racikan bumbunya yang sederhana sudah pasti menghangatkan. 

Indomie bukan tentang makanan saja, tapi ada kenangan, ada perjuangan dan kebersamaan yang diramu dari sebungkus Indomie. Jadi Indomie adalah simbol kemampuan Indonesia untuk bersaing di pasar global. 

Kata “perjuangan” dan “kebersamaan” harus dikembangbiakkan dalam menghadapi tantangan inisecara terbuka dan proaktif. 

Kasus penolakan ini adalah simbol bagi masyarakat Indonesia untuk dapat kembali merebut kepercayaan konsumen dalam konteks produk-produk lokal bangsa ini, baik di dalam negeri maupun luar negeri. 

Peristiwa ini bukanlah akhir, tetapi peluang untuk bangkit lebih kuat dan membuktikan bahwa produk lokal Indonesia memiliki kualitas yang tak kalah dari produk internasional. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved