Opini

Opini: PPN 12 Persen untuk Siapa?

Pemerintah berdalil, kenaikan PPN merupakan amanah dari UU No 7 tahun 2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan yang mau tidak mau tetap...

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Jacson Marcus. 

Oleh: Jacson Marcus
Wakil Ketua Bidang Politik DPC GMNI Kupang. Tinggal di Kelurahan Naimata, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang.

POS-KUPANG.COM - Tepat 1 Januari 2025 PPN atau pajak pertambahan nilai telah diberlakukan menjadi 12 persen. Sebelumnya PPN adalah 11 persen. Kenaikan 1 persen ditujukan terhadap barang mewah. 

Pemerintah berdalil, kenaikan PPN merupakan amanah dari UU No 7 tahun 2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan yang mau tidak mau tetap dijalankan untuk rencana fiskal jangka panjang. 

Kendati demikian, kenaikan PPN menjadi 12 persen tersebut tetap menjadi polemik dan perbincangan hangat di tengah masyarakat sebab kenaikannya dinilai tidak tepat karena ada ketidakpastian ekonomi global, dan kondisi domestik yang tidak stabil pascapandemi covid-19. 

Dari data yang dirilis BPS, maka diketahui pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu mengalami fluktuatif dari tahun ke tahun dimana pada 2021(3,7 persen), tahun 2022(5,31 persen), tahun 2023(5,05 persen).

Jika dilihat pertumbuhan ekonomi per kuartal tahun 2024 kuartal 1 (5,11 persen), kuartal 2(5,05 persen), kuartal 3(4,95 persen).

Hal ini menandakan, pendapatan negara tidak mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun. 

Ironisnya pendapatan negara pada 2024 selalu mengalami penurunan, tentu hal ini disebabkan oleh daya beli masyarakat yang menurun sebagai akibat dari tingginya inflasi. 

Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang dipungut secara kontinyu, pajak dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok yakni pajak pusat dan pajak daerah. Disebut pajak pusat dan pajak daerah karena melekat kewenangan untuk memungut. 

Sederhananya pajak pusat dipungut oleh pemerintah pusat melalui direktorat jenderal pajak dan pajak daerah provinsi/kabupaten dan kota dipungut oleh pemerintah daerah.

Kewenangan memungut pajak kepada orang perorangan dan/atau badan hukum sebagai sumber pendapatan negara dan pendapatan daerah. 

Berdasarkan jenisnya, maka yang ter kualifikasi sebagai pajak pusat yakni; pajak bumi dan bangunan, pajak pertambahan nilai, pajak penghasilan, pajak penjualan atas barang mewah, pajak bumi dan bangunan sektor perkebunan, perhutanan dan pertambangan (P3), dan bea meterai. 

Sedangkan pajak daerah yakni; pajak bumi dan bangunan sektor perdesaan dan perkotaan (P2), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), pajak kendaraan bermotor (PKB), bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB), pajak hotel dan restoran, pajak reklame, pajak air tanah, pajak hiburan dan pajak lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan Indonesia dan dipungut secara sah.

Bila dilihat jenis dan wewenang pemungutan pajak, pajak pertambahan nilai (PPN) merupakan salah satu jenis pajak pusat yang seyogianya dipungut pemerintah pusat untuk meningkatkan pendapatan negara.

Sistem Pemungutan Pajak

Untuk memahami lebih jauh tentang pajak pertambahan nilai, maka penulis akan lebih dulu memberikan batasan definisi PPN. 

Dilansir dari Wikipedia, PPN adalah pajak yang dikenakan pada setiap transaksi jual beli barang atau jasa yang terjadi pada wajib pajak orang pribadi atau badan usaha yang mendapat status pengusaha kena pajak. 

Terhadap definisi tersebut, sebenarnya PPN merupakan pungutan pajak yang ditanggung oleh konsumen akhir dari pengguna barang atau jasa. 

Dalam pertanggungjawaban PPN dibebankan kepada setiap pengusaha kena pajak yang bertugas memungut, menghitung, dan menyetor hasil pendapatan dari penjualan barang atau jasa kena pajak kepada direktorat jenderal pajak.

Berdasarkan sifatnya pajak merupakan sesuatu yang mengikat dan punya daya paksa, setiap pengusaha kena pajak tidak dapat menghindarkan diri dari tanggungan pajak. 

Setiap PKP memiliki kewajiban hukum untuk membayar pajak secara berkala jika ada ketidakpatuhan pembayaran pajak sudah tentu akan berakibat hukum terhadap diri sendiri dan negara dimana negara akan mengalami kerugian pendapatan. 

Sistem pemungutan pajak oleh negara melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat dikelompokkan dalam tiga bentuk sistem pungutan yakni.

1. Self-Assessment System. Sistem pemungutan pajak Self-Assessment System lebih menitikberatkan pada kemandirian wajib pajak. Artinya, penentuan besar kecilnya pajak terutang yang harus dibayarkan dilakukan secara mandiri oleh wajib pajak tanpa melibatkan pihak lain. 

2. Official Assessment System. Jenis pungutan ini lebih menitikberatkan pada petugas institusi pemungut pajak untuk menentukan besar kecilnya pajak yang harus disetorkan oleh wajib pajak.

3. Withholding Assessment System. Pada Withholding Assessment System, pihak ketiga adalah pihak yang paling aktif dan memiliki wewenang untuk menentukan besar kecilnya penyetoran pajak terutang oleh wajib pajak.(https://pajak.go.id/id/artikel/asas-dan-tiga-sistem-pemungutan-pajak-indonesia) 

Tiga sistem pungutan pajak yang ada. PPN dapat dipungut dengan salah satu sistem. 

Apakah pengusaha kena pajak akan mandiri melakukan penghitungan dan penyetoran sendiri atau melalui petugas institusi perpajakan atau melibatkan pihak ketiga yang komputer dan kredibel dalam penghitungan pajak, pengusaha kena pajak tinggal memilih cara penghitungan dan pembayaran yang efektif dan efisien pada prinsipnya pajak harus dibayar secara berkelanjutan oleh semua pengusaha kena pajak karena ada daya paksa dari negara. 

Dampak kepada Masyarakat

PPN merupakan pajak pusat yang bersifat tidak langsung. Karena tanggungan PPN dititikberatkan terhadap konsumen akhir yang menggunakan barang atau jasa kena pajak.

Sebagai komponen terakhir yang menanggung PPN, konsumen tidak memiliki kewajiban untuk melakukan pembayaran pajak secara langsung ke direktorat jenderal pajak melainkan produsen atau penjual memiliki kewajiban untuk memungut, menghitung dan menyetor PPN kepada negara. 

Tidak semua jenis pajak pusat memberikan income yang signifikan kepada negara. Jika dilihat angka penerimaan berdasarkan jenis pajak, PPN tercatat mempunyai tren positif dalam beberapa tahun terakhir, pada kurun waktu 2015 hingga 2024 kecuali pada 2016 dan 2020.

Demi menjaga kestabilan perekonomian, dan pendapatan negara, maka selain dari anjuran regulasi untuk menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen. 

Sebenarnya karena pemerintah melihat penerimaan PPN selalu mengalami pertumbuhan selama beberapa tahun terakhir sudah tentu dapat menjadi salah satu lokomotif untuk menjaga kesehatan APBN. 

Oleh karena itu diprediksikan penerimaan negara dari PPN 12 persen pada 2025 akan tetap mengalami peningkatan. 

Kerana ditanggung oleh konsumen akhir, maka Pemerintah selalu mengupayakan kebijakan alternatif agar tidak membebankan masyarakat yang berpendapatan rendah. 

Penerapan kenaikan PPN tidak ditujukan terhadap semua jenis barang, melainkan hanya untuk barang mewah, yaitu barang dan jasa tertentu yang selama ini sudah terkena PPN 12 persen.

Contoh: kendaraan bermotor, rumah mewah, apartemen, kondominium, town house, private jet dan contoh lain. 

Sedangkan untuk beberapa jenis barang yang menjadi kebutuhan pokok tidak dikenakan PPN 12 persen seperti beras, jagung, kedelai, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi jalar, ubi kayu, gula, ternak dan hasilnya, susu segar, unggas, hasil pemotongan hewan, kacang tanah, kacang-kacangan lain, padi-padian lain, ikan, udang, biota lainnya, dan rumput lain. 

Pembebasan pajak untuk kebutuhan pokok memberikan angin segar kepada seluruh masyarakat. Namun perlu dikontrol secara ketat oleh pemerintah agar pengusaha tidak memainkan harga pasar sesuka hati. 

Jika dilihat dari objek barang yang dikenakan PPN 12 persen, tentu masyarakat dengan pendapatan ekonomi diatas rata-rata akan lebih banyak menanggung pungutan PPN. Karena masyarakat yang berpenghasilan rendah tidak mungkin mengoleksi atau menjual belikan barang mewah. 

Sederhananya setiap pengeluaran tidak boleh lebih besar dari pendapatan. Bila pengeluaran lebih besar daripada pendapatan, maka akan terjadi kebangkrutan. 

Intensitas pengontrolan pasar oleh pemerintah baik pusat maupun daerah harus dilakukan. Jika tidak, maka kebijakan pemerintah dalam mengkhususkan barang atau jasa bebas PPN 12 persen akan salah diartikan oleh pengusaha kena pajak. 

Barang bebas PPN namun oleh pengusaha nakal bisa sengaja menspekulasi harga dengan dalil adanya kenaikan pajak. Tujuannya untuk menambah pundi-pundi kekayaan. 

Tentu akan berdampak terhadap daya beli masyarakat dan target capaian ekonomi pada 2025 tidak terwujud. 

Hal yang dikhawatirkan adalah PPN 12 persen tersebut tidak mencapai target yang diinginkan pemerintah. Tentu akan menimbulkan gejolak tersendiri dalam perekonomian Indonesia. 

Oleh karena itu pemerintah harus melakukan kontrol pasar, menstimulasi daya beli masyarakat, dan menjaga ketahanan UMKM. (*)

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved