Tokoh NTT
Berguru Antropologi Ekologi di Masyarakat Tiga Gunung, Mengantar Prudensius Maring Jadi Guru Besar
Keberhasilan transformasi ladang berpindah menuju tanaman tahunan menarik banyak peneliti melakukan kajian di sana dan menulisnya.
POS-KUPANG.COM - Prof. Dr. Ir. Prudensius Maring, M.A lahir dan menjalani masa kecil hingga usia SD di Desa Kloangpopot, sebuah desa terpencil saat itu di Maumere, Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Kloangpopot adalah desa yang subur. Hal itu yang memungkinkan kedua orangtuanya dan penduduk desa menjadi peladang berpindah dan bertransformasi menjadi pemilik kebun kopi, cengkeh, coklat, durian, dan buah-buahan lainnya.
Keberhasilan transformasi ladang berpindah menuju tanaman tahunan menarik banyak peneliti melakukan kajian di sana dan menulisnya. Rintisan kebun orangtua dan penduduk desa itu membuat dirinya bangga mengajak tim peneliti dari Jakarta dan Australia berkunjung ke desa dan makan durian di rumah pada bulan Maret tahun 2024.
“Latar ekologi itulah yang melandasi alasan kedua orangtua mengarahkan saya bersekolah menjadi sarjana pertanian agar kelak pulang kampung urus kebun,” ujar Prudensius.
Prudensius menuturkan bahwa di tahun 1987 hingga 1992 adalah masa dirinya mendalami dunia pertanian di Yogyakarta. Sebuah rentang proses pendidikan yang cukup meyakinkan saya bahwa dengan sentuhan teknis yang memadai maka bisa terselesaikan masalah pertanian dan urusan petani.
Bekal sarjana pertanian itu mendoronnya kembali ke NTT menjadi Dosen PNS. Prudensius mempublikasi beberapa opini di surat kabar lokal dengan memastikan gelar Insinyur mengapit nama saya. Motif utama adalah memberi rekomendasi tanaman tahunan adaptif wilayah kering.
Namun, sebagai Dosen Muda saat itu kata Prudensius tersirat pula pikiran bahwa publikasi adalah strategi dan taktik menunjukkan kepada sahabat dan masyarakat bahwa saya ada melalui buah pikiran saya.
“Kebiasaan yang terus saya lakukan. Setiap masuk ke lingkungan baru selalu saya tunjukkan kehadiran melalui tulisan baru. Delapan tahun kemudian saya menyadari bahwa strategi dan taktik yang saya lakukan itu menyerupai pemikiran Michel Foucault dalam bukunya, Power/Knowledge Pengaruhi orang atau pihak lain melalui pengetahuan dengan cara-cara persuasive,” ungkap pria murah senyum ini.
Setahun lebih menjalani profesi Dosen Pertanian, mulai menjalar rasa ingin tahu yang baru. Berkecamuk pikiran, cukupkah saya menjalani kesarjanaan saya untuk urusan yang sudah berhasil dilakukan kedua orangtuaku dan petani di kampung.
“Saya tergoda melihat masalah sumber daya alam dari aspek pendekatan pembangunan pedesaan dan dimensi sosial lainnya. Hal itu terlihat dari publikasi saya di koran lokal dengan judul: “Kualitas Partisipasi Masyarakat Pedesaan Terancam” pada tanggal 2 Juni 1995. Itu adalah tulisan pertama saya tentang masalah sosial yang saya anggap sebagai tonggak penting,” ceritanya.
Tulisan itu kini diintegrasikan dalam buku terbarunya berjudul: “Kontestasi Kekuasaan dan Raut Suram Ekologi” (Maring, 2022) dengan editor Dr. Endang Moerdopo dan kata pengantar oleh Bapak Kasih Hanggoro, MBA.
Buku tersebut berisi 46 tulisan popular terpilih yang pernah dipublikasikan Kompas, Media Indonesia, Koran Sindo, Pos Kupang, Arahkita.Com, dan Suara-Flores.Com.

Mulai Belajar Antropologi Ekologi
Gayung bersambut, di tengah godaan melihat dimensi sosial pengelolaan sumber daya alam, datanglah sepucuk surat dari Program Pengkajian dan Pengembangan Antropologi Ekologi Universitas Indonesia (P3AEUI), yang menawarkan penjaringan peneliti pemula.
Setelah terlibat dalam proses pelatihan metodologi kualitatif dan praktik penelitian antropologi tahun 1997 pada masyarakat Gunung Mutis di Timor, saya terpilih untuk belajar antropologi ekologi di UI.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.