Opini
Opini: Dilema Modernitas, Kehilangan Makna Sakral dalam Relasi Pria dan Wanita
Di tengah derasnya arus perubahan, manusia tampaknya kehilangan kemampuan untuk membedakan antara yang suci dan yang profan.
Oleh: Sirilus Aristo Mbombo
Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira Kupang
POS-KUPANG.COM - Manusia modern hidup di era tanpa batas, di mana berbagai persoalan kompleks mengemuka, terutama dalam dimensi kehidupan moral dan sosial.
Masalah-masalah ini mencakup persoalan seksualitas seperti perselingkuhan, pemerkosaan, pelacuran, dan aborsi, yang secara nyata mengganggu harmoni kehidupan manusia.
Di tengah derasnya arus perubahan, manusia tampaknya kehilangan kemampuan untuk membedakan antara yang suci dan yang profan.
Relasi antara pria dan wanita menjadi kabur, tanpa arah yang jelas mengenai batasan moralitas.
Dalam dunia yang didominasi hedonisme, tubuh manusia seringkali dieksploitasi sebagai alat pemuas nafsu sesaat, menjadikan sesama manusia sebagai objek semata, sehingga seksualitas kehilangan makna sakralnya.
Tanpa disadari, manusia telah meruntuhkan nilai kesucian yang seharusnya melekat pada sakramen perkawinan.
Kehidupan berkeluarga, yang semestinya menjadi pilar keberlanjutan generasi manusia, seringkali terabaikan dalam upaya mengejar kepuasan sementara.
Padahal secara biologis dan filosofis, seksualitas adalah aktivitas yang sarat dengan nilai positif, dirancang untuk melanjutkan kehidupan dan mempertahankan eksistensi spesies manusia.
Namun demikian, persoalan muncul ketika nilai-nilai agama, adat istiadat, dan budaya yang seharusnya menjadi landasan kehidupan manusia diabaikan.
Nilai-nilai tersebut berfungsi sebagai panduan moral yang membentuk kesadaran kolektif masyarakat, memastikan bahwa perilaku manusia tidak menyimpang dari norma-norma yang mendukung keharmonisan sosial.
Ketika nilai-nilai ini diinternalisasi maka akan membimbing manusia menuju kehidupan yang bermoral dan bermakna.
Sayangnya, di era ini seksualitas kerap dianggap sebagai hal tabu, suatu topik yang tidak layak untuk dibicarakan secara terbuka.
Ketabuan ini memunculkan ketidakpahaman mendalam terhadap seksualitas, sehingga berbagai penyimpangan seperti perselingkuhan, kekerasan seksual, dan degradasi moral terus terjadi.
Ironisnya, bahkan mereka yang berpendidikan tinggi dan dia nggap terpelajar pun sering menjadi pelaku utama dalam kasus-kasus ini, menunjukkan betapa jauhnya manusia telah tersesat dari kebijaksanaan yang seharusnya mereka miliki.
Manusia perlu kembali pada refleksi mendalam tentang makna seksualitas, melihatnya bukan sebagai sesuatu yang memalukan, melainkan sebagai bagian integral dari kehidupan yang penuh nilai.
Seks adalah simbol cinta kasih, penyatuan emosional, dan medium kelanjutan generasi manusia.
Namun ketika seksualitas direduksi menjadi sekadar transaksi atau sarana eksploitasi, manusia kehilangan makna mendalam yang seharusnya menyertainya.
Dalam konteks ini, pendidikan seksualitas yang tepat menjadi kebutuhan mendesak.
Edukasi ini tidak hanya membantu manusia memahami makna seksualitas yang positif, tetapi juga membimbing mereka untuk menjalani hidup sesuai dengan nilai-nilai moral, agama, dan budaya yang dianut.
Dengan demikian, manusia dapat menghindari penyimpangan yang berpotensi merusak kehidupan individu dan masyarakat.
Pada akhirnya, manusia modern perlu kembali kepada kesadaran total, menyelaraskan akal sehat dan hati nurani dengan nilai-nilai yang luhur.
Hanya dengan cara ini, manusia dapat keluar dari lingkaran kebingungan moral yang mengancam eksistensinya.
Kebahagiaan sejati tidak datang dari luar, tetapi dari dalam diri yang selaras dengan kebenaran, nilai-nilai agama, dan budaya yang menjadi dasar kehidupan.
Ketika manusia menemukan kembali arah hidupnya, ia dapat menjalani kehidupan yang lebih bermakna, penuh harmoni, dan selaras dengan tujuan keberadaannya sebagai manusia. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.