Opini
Opini: Kembar Tiga
Penyimpangan empat unsur inilah yang melahirkan tiga bersaudara kembar, namanya: Korupsi, Kolusi, Nepotisme.
Oleh: Anton Bele
Pengamat Sosial, tinggal di Kupang
POS-KUPANG.COM - Tiga bersaudara ini umurnya setua manusia. Karena ulah manusia. Mereka masing-masing ada nama.
Mereka lahir karena orang tuanya, manusia, bapa dan mama mereka, memiliki empat unsur dalam diri mereka, Nafsu, Nalar, Naluri, Nurani.
Empat unsur ini diciptakan Sang Pencipta dan ditempatkan dalam diri manusia sejak awal adanya, kita-kita ini.
Penyimpangan empat unsur inilah yang melahirkan tiga bersaudara kembar, namanya: Korupsi, Kolusi, Nepotisme.
Nafsu itu baik karena merupakan dorongan dalam diri manusia untuk hidup dan menikmati segala kesenangannya. Nalar manusia itu ada untuk mempertimbangkan segala tindak-tanduknya, benar atau tidak.
Naluri itu sengaja diletakkan Tuhan dalam diri kita manusia untuk hidup bersama sesama manusia penuh belas dan kasih.

Nurani manusia itu berisi ketenangan, sebagai unsur perpaduan secara utuh dan indah dari tiga yang lain, Nafsu yang terpenuhi, Nalar yang cerah dan Naluri yang yang ramah (Kwadran Bele).
Penyimpangan dari arah yang benar ke arah yang salah dari tujuan empat usur inilah yang melahirkan si kembar tiga. Arti nama kembar tiga ini jelas sekali. Kembar pertama, “Korupsi”.
Ini dari bahasa Latin, co, bersama, rumpere, merusak, menghancurkan. Corumpere, coruptio, ini asal-usul nama kembar yang pertama, ‘Korupsi” artinya merusak bersama.
Nafsu yang berlebihan membuat diri kita manusia serakah, sulit membedakan milik sendiri atau milik orang lain. Hantam saja, caplok saja.
Karena Nafsu yang membara tidak terarah sudah begitu merasuk diri manusia maka Nalar pun dibingungkan, Naluri dibelenggu, Nurani diberangus. Lahirlah ‘Korupsi’.
Kembar kedua, “Kolusi”, memperoleh nama dari kata Latin, co, bersama, ludere, bermain, coludere, colusio, bermain bersama untuk tujuan yang buruk.
Saling mengajak untuk merampok milik orang lain. Ini kerja pencuri. Kong kalikong untuk berbuat jahat masuk dalam arti nama ini, “Kolusi”. Dalam kas milik umum, bendahara simpan seratus juta rupiah.
Si kepala, bos, bujuk bendahara untuk pakai tahan dua puluh juta rupiah. Nanti baru dikembalikan. Ternyata, habis pakai, tidak bisa dikembalikan. Bos runding dengan bendahara, minta dalam nada perintah, “Kau atur dulu”.
Bendahara jadi huru-hara, tapi cerdik, buat kuitansi palsu, beres, dua puluh juta habis, bos selamat. Bendahara yang cerdik, bermain bersama bos, “Kolusi”.
Kembar ketiga, “Nepotisme”. Ini kata Yunani, nepote, ponakan, arti luas,
keluarga.
“Nepotisme”, utamakan keluarga, kerabat, orang dekat secara tidak benar karena menyingkirkan orang lain biarpun orang lain itu lebih mampu, fit, dan lebih cocok, proper, untuk tugas tertentu.
Kerabat sendiri yang dipakai. Baik tidak baik, pokoknya orang saya, kelompok saya, tim saya untuk sukses. Lebih luas, ini namanya sukuis, mementingkan suku sendiri. Semua bisa diatur. Atur ikut bos punya mau.
Mau yang baik, baik. Mau yang tidak baik itu yang dinamakan ‘nepotisme’.
Kembar tiga ini sama-sama hidup dan kerja sama erat sekali. Mereka tiga tidak berjalan sendiri-sendiri.
Dalam urusan publik, kembar tiga ini benar-benar membahayakan karena seperti virus yang mematikan, virus ini bernama KKN.
Kalau virus ini sempat masuk ke tubuh satu organisasi, maka seluruh tubuh terserang penyakit sampai ke sumsum.
Penyakit apa? Penyakit pembangunan. Itu modelnya apa? Pencurian barang milik umum secara gelap atau terang-terangan. Uang milik umum disalahgunakan.
Barang milik umum tidak digunakan sesuai tujuannya. Bangunan untuk umum dikerjakan asal-asal, tidak sesuai dengan anggaran yang disediakan.
Penyakit ini sangat berbahaya karena nasib hidup banyak orang dirugikan.
Masyarakat menderita karena uang mereka yang dihimpun melalui yuran atau pajak, tidak kembali lagi kepada mereka secara utuh.
Kembar tiga yang memiliki nama mentereng, ‘Korupsi Kolusi Nepotisme’ ternyata virus berbahaya yang disebabkan oleh manusia dan mencelakakan manusia.
Virus KKN ini berawal dari Nafsu manusia yang tidak terkendali. Karena Nafsu sudah begitu bergelora, Nalar pun menjadi gelap diputar-balikkan tidak lagi bisa melihat mana benar dan mana yang salah.
Semua pengetahuan dan pengalaman yang baik tidak dipakai lagi tapi dibelokkan ke arah penipuan untuk menjungkir-balikkan fakta dan data.
Fakta, ada kebutuhan. Data, ada sejumlah anggaran. Butuh jembatan yang dapat bertahan minimal berpuluh-puluh tahun, dipreteli anggarannya sehingga baru sepuluh tahun sudah ambruk. Data.
Ada uang miliaran rupiah yang dianggarkan dan digelontorkan, dimakan bersama oleh diri dan keluarga, “Korupsi”. Ini salah arahkan Naluri.
Lewat suasana kebersamaan, diupayakan dengan pemalsuan bukti dan laporan-laporan fiktif dalam kerja sama dengan rekan dan tim sukses, “Kolusi”.
Ini terjadi karena semua yang kerja sama dalam ulah buruk ini adalah keluarga, kenalan atau bawahan yang dibungkem, “Nepotisme”.
Kalau Nafsu, Nalar dan Naluri sudah dikelabui, maka Nurani pun jadi kotor, kabur.
Penyakit KKN membuat Nurani kita manusia jadi pribadi yang beragama dalam KTP dan beribadah demi memenuhi tradisi.
Lengkaplah empat unsur dalam diri kita manusia, Nafsu, Nalar, Naluri dan Nurani yang harus seimbang, tidak seimbang, berantakan, pecah berkeping-keping.
Rusaklah diri pribadi kita manusia yang secara lahiriah ganteng atau cantik, di dalamnya sedang rapuh keropos oleh sebaran virus KKN.
Ungkapan kalimat-kalimat di atas jauh dari ramah, halus dan lunak.
Penulis sadar sesadar-sadarnya bahwa mengorek luka KKN ini tidak mudah. Menyakitkan kita semua.
Penulis tidak bermaksud untuk melukai diri kita manusia tetapi ibarat luka dikorek dan dibersihkan untuk dioles dengan salep yang tepat lalu dibalut supaya sembuh.
Jujur, penulis sendiri bukanlah pribadi yang bebas dari virus KKN.
Penulis pernah jadi Kepala Kantor di satu instansi Pemerintah. Itu dua puluhan tahun lalu. Ada anggaran untuk pemeliharaan kantor.
Waktu itu cuma ratusan ribu rupiah, tidak jutaan. Kami gotong-royong, semua pegawai kantor, lima puluhan orang, bersihkan kantor, ada yang labur tembok yang sudah kabur catnya termakan cuaca. Tahun lalu sudah kabur, labur, tahun ini belum kabur, labur lagi.
Tugas ini kami laksanakan beberapa tahun. Sebagai kepala kantor, penulis sangat sadar bahwa kerja bakti ini untuk meluputkan anggaran pemeliharaan kantor yang tidak dikeluarkan satu rupiah pun untuk beli oker atau semen.
Beberapa puluh ribu rupiah dibelanjakan untuk kami minum dan makan siang ramai-ramai.
Bendahara kantor bersama kepala urusan keuangan mengatur kuitansi fiktif dalam bentuk beli semen dan oker dan ongkos tukang. Kuitansi itu penulis tanda-tangan.
Beberapa tahun, tindakan ini berlangsung, tidak terkena kasus sebagai KKN. Uang yang disisihkan itu menjadi biaya untuk perayaan tujuh-belas Agustus, dengan membeli pakaian seragam bagi peserta lomba jalan delapan kilometer, tujuh belas kilometer dan empat puluh lima kilometer.
Angka keramat, tanggal tujuh belas bulan kedelapan, tahun empat lima. Ini kegiatan lomba yang harus diikuti oleh para pegawai kantor kami bersama dengan pegawai-pegawai dari kantor lain.
Tujuannya sangat luhur, meningkatkan rasa nasionalisme, cinta bangsa dan negara yang merdeka pada tanggal tujuh belas Agustus tahun seribu sembilan ratus empat puluh lima. Wajib.
Penulis tidak tahu dari mana anggaran diambil oleh para kepala di kantor-kantor lain untuk hajatan lomba-lomba seperti ini.
Di kantor penulis, semua pegawai tahu bahwa anggaran pemeliharaan kantor dialihkan untuk kegiatan olah raga dan semua tahu bahwa kuitansi fiktif diatur oleh bendahara, kepala urusan keuangan dan kepala kantor.
Ini namanya kebijakan. Yang paling bijak dalam hal ini ialah penulis sebagai kepala kantor.
Ceritera di atas bukan fiksi. Tapi fakta. Itulah yang namanya KKN, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Penyalahgunaan. Nafsu senang terpenuhi.
Nalar diajar untuk bijaksana. Naluri dibungkam untuk tahu-sama-tahu. Nurani ditenangkan dengan bisikan, ini tidak apa-apa, kecil-kecil saja, tujuannya baik biarpun caranya salah.
Syukur bahwa uang hasil kebijakan ini tidak dipakai oleh bendahara, kepala urusan keuangan dan kepala kantor untuk pribadi dan keluarga. Rasa bersalah ada pada penulis, biarpun tipis. Tapi salah, yah, salah.
Hanya penulis bayangkan kalau ini terjadi di seluruh Indonesia dengan berbagai item pekerjaan yang lain, maka berapa banyak anggaran dari budjet nasional yang disalaharahkan dengan dalih kebijakan.
Lengkaplah kembar tiga bergandengan tangan, merusak bersama, “Korupsi”, bermain bersama secara tidak wajar, “Kolusi”, baku ajak antara kawan dekat untuk tutup mulut, “Nepotisme”.
Kantor berdiri megah dan gagah karena temboknya cerah mengkilat, hasil pemeliharaan setiap tahun, dicat berulang-ulang.
Kalau masih cemerlang, tidak diapa-apakan lagi karena anggarannya utuh untuk olahraga.
Inilah KKN dalam skala kecil. Aman, biarpun Naluri tidak meng-Amin-kan. Tuhan pasti tahu karena dapat laporan dari Malaikat-malaikat.
Untung diampuni karena disesali dengan doa tobat dan ini digolongkan dalam dosa kecil karena kebijakan yang menyimpang dalam skala kecil.
Cuma sedikit salah arah dengan tujuan baik, biarpun tidak benar. Ini sekadar bela diri, KKN tetap KKN, bukan diukur dari besar-kecilnya.
Bagaimana dengan ‘kebijakan’ dalam skala besar? Menyangkut dana ratusan juta, milliaran malah triliunan rupiah?
Rasa tidak bersalah dalam jumlah kecil terbawa-bawa ke rasa tidak bersalah dalam penyalahgunaan uang milik umum yang bernilai puluhan juta, ratusan juta, miliaran malah triliunan rupiah. Ini KKN, kembar tiga dalam skala besar.
Kembar tiga ini membuat tuan atau nyonya tampil di muka umum dengan gagah perkasa, anggun, merasa sama sekali tidak bersalah.
Ketiganya ada dalam diri pribadi manusia sebagai pelaku, hidup, berkembang biak, bergurau seperti biasa.
Akrab. Yah, namanya kembar. Kembar tiga lagi. Ternyata dalam pembangunan, inilah yang dinamakan virus KKN yang menggerogoti pribadi manusia sampai ke sumsum.
Pribadi sakit, keluarga rusak, masyarakat ambruk. Kanker pembagunan ini yang merajalela dalam diri para pembangun kalau tidak dihindari, tidak dibabat dan diobati, maka sampai kapan pun isi Sila Kelima dalam Pancasila, ‘Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia’, tidak akan terwujud.
Ibarat petani sawah, menyiram padi yang tumbuh subur dengan semprotan obat yang mematikan. Tanam, tumbuh, layu mati, hibur diri dengan gagal panen. Padahal sendiri yang menggagalkan bukan hama dari luar.
Kita manusia membangun ibarat petani menanam untuk panen. Tidak ada petani yang bodoh, tanam sekedar tanam, dilihat hijaunya daun tanpa menghasilkan buah.
Tidak ada petani yang menanam benih yang buruk yang pasti tidak tumbuh, atau kalaupun tumbuh, sekadar tumbuh tanpa hasil. Itulah pembangunan berwajah KKN.
Kembar tiga ini sudah lahir dan ada. Tidak bisa dihilangkan. Mereka bertiga melekat dalam diri kita manusia, setiap orang.
Kembar tiga ini bertumbuh mulai dalam diri kita manusia sejak kecil. Waktu di SD, anak kelas satu tidak merasa bersalah membawa pulang buku sekolah tanpa izin.
Guru boleh mencari di berbagai sudut ruangan. Waktu ditanya, siapa yang mengambil buku, tidak ada yang mengaku. Yang mengambil tetap diam dan merasa aman karena tidak ada yang tahu.
Inilah KKN tingkat SD. Tidak menghargai milik umum. Benih KKN mulai berkecambah sejak kecil.
Kembar tiga ini dihindari, harus sejak usia dini kita manusia. Kata kunci, jujur.
Setiap tindakan kita harus diukur dengan empat B: Benar, Baik, Bagus dan Berguna. Lawan dari 4 B, ialah 4S: Salah, Suap, Susut, Susah.
Bangunan jembatan yang besar, anggaran besar dipakai secara benar, dibangun dengan baik supaya bertahan lama, dibuat bagus supaya menarik dan dibuat sesuai kebutuhan sehingga berguna untuk kepentingan umum.
Kalau kembar tiga itu masuk, KKN, maka yang terjadi, anggaran disalahgunakan, suap sana-sini supaya tutup mulut, mutu bangunan tidak baik karena anggaran sudah susut dari yang seharusnya dan akibatnya, semua orang susah. Inilah kerja virus KKN.
Kita harus biasakan diri dengan kearifan orang tua-tua kita, “Barang apa saja, saya punya, saya punya, orang punya, orang punya”.
Orang Latin ratusan tahun sebelum Masehi, sudah ada peribahasa, “Res clamat dominum”, ‘Barang teriak menangis cari tuannya’.
Bolpoin yang harganya seribu rupiah dipinjam dari teman. Lupa kembalikan. Bolpoin itu menangis, berteriak cari tuannya. Yang meminjam dan lupa mengembalikan, segera sadar untuk mengembalikan.
Dompet orang jatuh di jalan. Kita temukan. Segera cari dan kembalikan kepada tuannya.
Kalau tidak, empat unsur dalam diri kita terganggu, Nafsu susah, Nalar kacau, Naluri gelisah, Nurani meratap. Ini akibat KKN, entah dalam jumlah kecil atau besar.
Niat baik selalu ada dalam diri kita setiap manusia. Menghindari virus KKN tidak membutuhkan sekolah atau kuliah bertahun-tahun. Mulai dari keluarga.
Jangan ajar anak, waktu ada tamu datang, anak lari masuk ke kamar, bapak, ada tamu, dan bapa bilang, bapa ada keluar, lalu anak dengan polosnya beritahu tamu, bapak bilang bapa ada keluar. Memalukan.
Kembar tiga ini membuat diri kita tidak tenang, tegang, tidur tak nyenyak, makan tak enak. Mari kita berdoa, “Tuhan, kami tidak mau KKN, beri kami rahmat untuk hidup jujur. Amin”. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.