Opini

Opini: Pangan Lokal dalam Pariwisata

Pangan lokal sebagai unsur budaya masyarakat desa patut mendapat tempatnya dalam pengembangan pariwisata NTT.

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/RYAN NONG
ilustrasi 

Lahan tanah masyarakat lokal untuk pertanian, perkebunan atau peternakan mudah beralih fungsi untuk kepentingan pembangunan sentra industri pariwisata. 

Sebenarnya masyarakat lokal tidak perlu menjual tanahnya karena lahan tanah pertanian atau peternakannya itu bisa digarap sendiri dengan hasilnya untuk mengsuplai kebutuhan konsumsi pangan dalam industri pariwisata.

Contoh fenomena alih fungsi tanah pertanian masyarakat lokal menjadi garapan industri pariwisata seperti terlukis di atas sering terjadi di Bali dan Lombok. 

Tanah persawahan padi di Bali semakin berkurang karena digarap menjadi lahan indutri pariwisata. (Jiwa Atmaja, Dampak Pariwisata Terhadap Kebudayaan Bali dalam Anom I Putu cs.2010, Pariwisata Berkelanjutan dalam Pusaran Krisis Global, Denpasar, Udayana Universty Press, p. 210).

Demikian juga tanah pertanian di Lombok semakin menciut karena dialihfungsikan menjadi lahan pembangunan industri pariwisata (Karim A, 2008, Kapitalisasi Pariwisata,dan Marginalisasi Masyarakat Lokal di Lombok, Yogyakarta, Genta Press, p.99-102). 

Fenomena sama itu sudah terjadi juga di Manggarai Barat, Labuhan Bajo dan sekitarnya (Jebadu, A. 2021, Dalam Moncong Neoliberalisme, Maumere, Ledalero, p.256-268). 

Ke depannya bila kebijakan pembangunan pariwisata oleh pemerintah kurang berpihak kepada kepentingan masyarakat desa maka tidaklah mustahil masyarakat akan kehilangan tanahnya untuk pertanian pangan lokal dan usaha tradisional lainnya.

Narasi Lokal

Masyarakat desa umumnya masih mengaitkan pemanfaatan tanah untuk pangan lokal dengan berbagai narasi ritual adat, mitos dan legenda. 

Misalnya ritus adat lokapo’o di desa Wolowiro, Kecamatan Paga Kabupaten Sikka, ditujukan kepada leluhur untuk memohon kesuburan tanah pada awal musim tanam, khususnya tanaman padi. 

Padi disapa dengan nama Ine Pare (Ibu Padi) yang melambangkan seorang perempuan Lio bernama Ine Mbu yang rela dibunuh oleh saudara laki-lakinya bernama Ndale di tempat bernama Keli Ndota. 

Dari darah Ine Mbu yang berjatuhan muncullah tanaman padi yang memberi kehidupan bagi manusia (Pesona Sikka I,2006, Dinas Pariwisata Kabupaten Sikka, p.103-106). 

Ini mitos kuliner lokal bermakna spiritualitas bumi (earth based spirituality) yang dihayati masyarakat dan bisa menarik wisatawan bila dipentaskan dalam festival seni adat kuliner.

Dengan kata lain, pangan lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi dengan beragam resep tradisional pengolahannya tentu bukanlah hanya sekadar makanan untuk dikonsumsi tetapi juga menjadi media dalam menjalin hubungan dengan Sang Pencipta dan leluhur, sesama dan alam, serta mengandung nilai-nilai sosial-budaya, sejarah etnis, pesona alam, kearifan lokal dan keuntungan ekonomi. 

Semuanya ini merupakan daya tarik khusus wisata kuliner yang menampilkan keaslian dan keunikan lokalnya (Nurdiyansyah, 2014, Peluang dan Tantangan Pariwisata Indonesia, Bandung, Alfabeta,p.138-143). 

Halaman
123
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved