Opini
Opini: Banalitas Kizomba Dewasa Ini
Masalahpun muncul. Para penyanyi yang tak tahu menahu arti lagu yang dinyanyikan pun mendapat tempik sorak dari para netizen penikmat musik.
Oleh: Jondry Siki, S.Fil
Alumnus Fakultas Filsafat Unwira Kupang, Tinggal di Palangka Raya, Kalimantan Tengah
POS-KUPANG.COM - Kemajuan industri musik Tanah Air, kini merambat hingga pelosok. Lantas kemudian menciptakan banyak musisi jalanan yang berseliweran di jagat maya seperti Youtube dan TikTok.
Dua platform ini menjadi medium bagi para musisi milenial untuk mempertunjukan kemampuan tarik suara sehingga mendapat banyak views, subscribers dan like.
Situasi ini berbanding terbalik dengan para musisi di masa lalu sebab dahulu untuk menjadi musisi atau artis sangat sulit karena aksesnya terbatas.
Namun cobalah lihat saat ini, hanya bermodalkan chanel Youtube dan akun TikTok, banyak orang bisa menjadi musisi dan artis tanpa harus jauh-jauh ke Ibu kota cukup saja mempunyai talenta dan kapasitas di bidang musik, mimpi jadi musisi terwujud.
Meluasnya penggunaan media-media sosial di masa kini, kontrol sosial dan filterisasi musik menjadi sulit karena setiap orang menjadikan dirinya “Lembanga Sensor” sehingga apa pun yang diciptakannya seketika itu pun langsung dipublikasikan dan menjadi viral serta fyp (for your page) di akun TikTok.
Para pemusik ini awalnya ‘mungkin’ hanya iseng-iseng namun kemudian terjebak dalam pujian netizen yang merasa terhibur dan mereka pun tergiur untuk terus mencari konten dengan menyanyikan ulang lagu ciptaan orang lain (cover), atau menyanyikan lagu karangan sendiri demi kebutuhan pesat di daerah-daerah tertentu.
Budaya pesta yang kita jumpai menyajikan lagu-lagu terbaru dan terpopuler untuk kepentingan ‘acara bebas’.
Para pemutar lagu kini hanya membutuhkan ponsel pintar untuk mencari lagu di Youtube karena semua genre lagu sudah tersedia lengkap di sana sehingga tidak diperlukan lagi kaset lagu oleh opreter pesta sebagaimana yang terjadi di tahun-tahun sebelum mewabahnya chanel Youtube.
Dari semua genre musik yang tersedia, rupanya orang-orang muda terbius dengan genre kizomba.
Lantas para konten kreator musik (youtuber) pun berlomba-lomba meng-cover lagu-lagu kizomba yang ia sendiri tidak ketahui artinya.
Masalahpun muncul. Para penyanyi yang tak tahu menahu arti lagu yang dinyanyikan pun mendapat tempik sorak dari para netizen penikmat musik.
Ternyata lagu lagu-lagu yang dinyanyikan adalah lagu yang tidak pantas diputar untuk memenuhi kebutuhan orang muda yang doyan pesta.
Fenomena sosial ini susah dibendung dengan kecepatan kemajuan teknologi dan semua orang terseret arus digitalisasi musik yang serba instan.
Kizomba Bukan Budaya Kita
Budaya yang tren saat ini adalah pesta dan pesta paling mahal di Tanah Air adalah NTT.
Hal pertama yang dipikirkan oleh tuan pesta adalah sound system dan kuota untuk memutar lagu-lagu di chanel youtube.
Tingginya biaya pesta di NTT, banyak orang kemudian berlomba-lomba untuk mempestakan semua momen kehidupan.
Namun yang menjadi sorotan penulis adalah tentang musik yang diputar saat “acara bebas”.
Khusus daratan Timor, pesta itu identik dengan dansa. Jika lagu-lagu dugem lebih banyak porsinya dari lagu dansa, maka opreter dan tuan pesta siap diteror.
Dari sekian lagu dansa yang diputar, orang-orang muda lebih memfavoritkan lagu dansa Kizomba. Mengapa demikian karena di momen itu, ada kesempatan ‘peluk gratis’.
Dansa kizomba adalah dansa yang populer khususnya di Kabupaten Timor Tengah Utara ( TTU), Belu dan Malaka.
Maka intensi utama orang muda menghadiri pesta adalah untuk dansa kizomba.
Melihat fenomena kizomba di pesta-pesta akhirnya salah satu imam asal Keuskupan Atambua angkat bicara mengenai dansa kizomba yang cukup meresahkan ini.
Dansa kizomba bukanlah budaya NTT. Dansa kizomba adalah adalah budaya dansa Angola sejak tahun 1894. Kata Kizomba berasal dari Bahasa Buntu “Kimbundu” yang artinya pesta.
Dansa Kizomba adalah budaya yang sangat bertentangan dengan adat ketimuran yang tergerus oleh arus digitalisasi massa yang merambat tanpa filterisasi.
Kizomba mempertontonkan hal-hal yang tak seharusnya di publik namun tren ini menjadi banalitas massa orang muda yang merasa biasa saja.
Musik, Musisi, Kehilangan Marwah
Setelah viralnya komentar tentang dansa kizomba, jagat maya kembali dihebohkan dengan salah satu penyanyi NTT yang menyanyikan ulang lagu bahasa asing dan digunakan untuk kepentingan dansa kizomba.
Sontak seorang yang memahami lagu itu menyampaikan keprihatinannya karena lagu yang dinyanyikan ternyata lagu Natal berbahasa Spanyol.
Namun, karena tuntutan netizen akan konten-konten terbaru, si penyanyi pun menyanyi tanpa menggubris arti dan tujuan lagu itu.
Semakin ke sini, marwah penyanyi dan musisi kehilangan arah. Intensi kejar jam tayang menjadi fokus utama tanpa mempertimbangkan hal-hal lain yang bisa merugikan dirinya dan para pemusik lainnya.
Musik sejatinya adalah seni yang memperdengarkan keindahan melodi sebagai obat jiwa.
Semakin baik musik yang dihasilkan jiwa semakin tenang sebab lagu dan musik jika dinyanyikan dengan baik nilainya sama dengan berdoa dua
kali.
Maka, musik harus ditempakan pada porsi yang baik dan benar. Banyak penyanyi saat ini hanya bermodalkan kecakapan suara dan keberanian namun hal-hal lain dari musik tidak diperhatikan seperti makna lagu dan penjiwaan lagu.
Lagu-lagu zaman ini hanya untuk kepuasan sesaat tetapi tidak hidup di setiap zaman.
Bandingkan lagu-lagu yang diciptakan dahulu justru lebih bertahan dan masih relevan hingga saat ini karena lagu itu diciptakan dengan satu permenungan yang cukup mendalam sehingga menghasilkan karya seni yang indah.
Penyanyi dan Isu Sosial
Penyanyi adalah pemerhati sosial yang baik. Banyak pesan-pesan moral tersampaikan kepada masyarakat melalui lagu.
Banyak penyanyi terkenal menyampaikan ide dan gagasan melalui lagu hingga kritik pemerintah.
Sangat disayangkan jika para penyanyi milenial menjadikan lagu hanya sarana untuk mengejar jam tayang di youtube tanpa menyampaikan hal-hal yang membangun kehidupan masyarakat.
Masih banyak hal yang bisa diungkapkan melalui lagu dan para pemusik harus mempunyai intuisi yang mendalam tentang lagu yang diciptakan dan dinyanyikan.
Sepatutnya penyanyi menjadi corong untuk menyampaikan kebenaran dan kebaikan melalui melodi dan seni suara. Menyanyi bukan sekadar hiburan tetapi pelajaran dan kehidupan.
Menyanyikan lagu-lagu yang memiliki pesan moral yang dalam akan menjadi modal dalam pembentukan karakter orang muda.
Melalui nyanyian pula Gereja mengungkapkan pujiannya kepada Tuhan dan bagi para penyanyi profan sejatinya menyampaikan pesan kebaikan dengan cara yang khas sehingga bisa diterima semua orang dari berbagai kategori usia.
Penyanyi dan nyanyian mesti menjadi kritik sosial dan ajakan moral yang andal.
Banyak orang suka mendengar lagu namun tidak semua genre lagu. Salah satu genre lagu yang tidak disukai adalah lagu-lagu meditatif karena tidak membangkitkan gairah untuk berkarya di kalangan orang muda.
Mulai sekarang kita diminta untuk selektif dalam mendengar lagu karena tidak semua lagu membangun iman dan moral.
Mengulangi kata-kata St. Agustinus dari Hippo “Qui bene cantat, bis orat” bernyanyi baik, berdoa dua kali.
Banalitas Kizomba dan Orang Muda
Banalitas Kizomba di kalangan orang muda adalah satu situasi di mana orang-orang muda merasa biasa-biasa saja dengan gaya dansa kizomba.
Bahkan dansa kizomba menjadi satu pemandangan yang lumrah ketika mayoritas orang muda melihatnya sebagai sesuatu yang tidak meresahkan.
Dansa merupakan satu ekspresi jiwa dari getaran musik yang diperdengarkan kepada khalayak.
Namun, seharusnya dansa menampilkan satu pemandangan indah seperti tarian-tarian pada umumnya.
Akan tetapi jika dansa mempertontonkan aksi erostisme maka hal-hal itu harus dihentikan karena tidak sejalan dengan tata krama ketimuran.
Orang-orang muda terjebak dalam banalitas kizomba sehingga menjadikan pesta untuk melakukan atraksi erotis secara terbuka.
Dansa jenis itu tidak menghasilkan nilai seni tetapi keresahan. Seni yang sejati adalah menampilkan kebenaran, kebaikan dan keindahan.
Ketiga hal ini merupakan unsur penting dalam seni. Kebenaran dalam seni mesti menjadi sajian utama lalu kebaikan dari seni menjadi pegangan sehingga boleh bermuara pada keindahan yang sejati. Seni itu, Verum, Bonum et Pulchrum. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.