Opini

Opini: Pak Pratik dan Sebuah Antologi

Saya pertama kali mengenal pemikirannya sebagai mahasiswa komunikasi melalui buku Komunikasi Antarpribadi yang diterbitkan oleh Kanisius. 

|
Editor: Dion DB Putra
DOK UNIVERSITAS SANATA DHARMA
Prof. Dr. Augustinus Supratiknya 

Oleh: Mario F. Lawi
Alumnus Program Magister Kajian Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

POS-KUPANG.COM - Pada 21 Oktober 2024, Desy Christina, administrator grup WhatsApp Alumni Program Magister Ilmu Religi dan Budaya (sekarang disebut Magister Kajian Budaya), Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, mengirimkan beberapa potongan video acara perayaan purnatugas Prof. Dr. Augustinus Supratiknya

Ada potongan testimoni dari beberapa teman, juga sambutan dari Pak Pratik, demikian biasa kami sapa. 

Dalam penggalan sambutan tersebut, Pak Pratik mengakui kebiasaannya berbicara secara terbuka dan blak-blakan sebagai konsekuensi dari integritasnya untuk menyampaikan kejujuran.

Penggalan-penggalan video tersebut melayangkan ingatan saya ke kelas Pendidikan Kritis yang kami ikuti, yang diampunya bersama Kristian Tamtomo, sepanjang semester pertama tahun 2017. 

Pak Pratik adalah guru besar Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma. Tamat dari Fakultas Psikologi, Gadjah Mada (B.A., 1977; Drs., 1980), dan Department of Psychology, College of Social Sciences and Philosophy, University of the Philippines, Diliman (Ph.D., 1992). 

Saya pertama kali mengenal pemikirannya sebagai mahasiswa komunikasi melalui buku Komunikasi Antarpribadi yang diterbitkan oleh Kanisius. 

Di program Pascasarjana Universitas Sanata Dharma saat itu, selain mengampu mata kuliah Pendidikan Kritis di jenjang magister, Pak Pratik juga mengajar mata kuliah Metodologi Penelitian Kajian Budaya di jenjang doktoral.

Dalam kuliah Pendidikan Kritis, para mahasiswa diajak untuk melihat bentuk-bentuk ketimpangan yang lahir dari sistem pendidikan di negara ini, dengan berkaca pada pandangan sejumlah pakar.

Mata kuliah memiliki empat tujuan: agar mahasiswa memperoleh pemahaman memadai tentang pendidikan kritis, tentang implementasi pendidikan kritis dalam sejumlah bidang pengajaran, tentang keterbatasan pendidikan kritis dan kemungkinan jalan keluarnya, serta mampu merancang penelitian berdasarkan perspektif pendidikan kritis.  

Mahasiswa diajak untuk melibatkan seluruh pikiran dan empatinya dalam kelas tersebut. 

Demikianlah, kami mengenal pemikiran dari nama-nama seperti Patricia Murphy, Fred C. Lunenburg, Mustafa Sever, Henry A. Giroux, R.A. Davis, Seehwa Cho, Adam Wright, Roya Koupal, Jean Anyon, Noah De Lissovoy, Michael W. Apple, Anne E. Gregory, Mary Ann Cahill, Catherine Doherty, Frank Stillwell;

Myriam Torres, María Mercado, John Hoben, Jan McArthur, D. Hopkins-Gillispie, Michele S. Moses, Michael J. Nanna, Rodney Handelsman, Mary Breunig, Ilan Gur-Ze’ev, Peter McLaren, Gregory Martin, Ramin Faahmandpur, dan Nathalia Jaramillo. 

Mereka merupakan para penulis yang pemikirannya kami kaji selama satu semester di dalam kelas Pendidikan Kritis, selain nama-nama yang lebih dahulu terkenal di Indonesia seperti Ivan Illich dan Paulo Freire, maupun para ilmuwan yang teori-teorinya dijadikan landasan kajian seperti Marx, Foucault, Althusser, Fanon, dan lain-lain.

Sebagaimana kelas lain, masing-masing mahasiswa bertanggung jawab mempresentasikan satu bacaan untuk seluruh kelas sebagai pemantik diskusi. 

Halaman
123
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved