Cerpen
Cerpen: Di Ujung Rasa Cukup
Orang-orang seolah telah berlalu bersama waktu, menyisakan hanya ingatan tentang mereka yang dulu berjasa besar dalam hidupku.
“Bagaimana kabar Om Beni, Tante?” tanyaku dengan sedikit rasa bersalah.
Tante Maria terdiam sejenak, menghela napas panjang sebelum menjawab.
“Om-mu sudah meninggal dua tahun yang lalu, Nak.”
Aku tercekat. Rasanya seperti disambar petir di siang bolong. Om Anton sudah meninggal?
Dan aku tak tahu? Aku tak ada di sana saat dia menghembuskan napas terakhirnya? Dada ini mendadak terasa begitu sesak. Aku menyesap teh dengan tangan yang gemetar, mencoba menenangkan diri.
“Maaf, Tante... aku tidak tahu.” Suaraku hampir berbisik.
Tante Maria tersenyum lembut, seolah memahami segala perasaan yang bergejolak dalam diriku. “Tidak apa-apa, Nak. Kamu kan sibuk di kota.”
Satu kalimat itu menusukku.
“Sibuk di kota.” Selama ini, apakah itu alasan yang cukup?
Apakah kesibukanku benar-benar lebih penting daripada hubungan keluarga yang pernah memberi begitu banyak pengorbanan?
“Tante...”
Banyak hal ingin kuungkapkan, tetapi kata-kata terdiam di ujung lidahku. Aku merasa begitu kecil dan tidak berarti di hadapan sosok wanita tua ini yang telah memberikan segalanya untukku.
“Kamu tahu, Nak,” Tante Maria melanjutkan, “ketika kamu sukses, kami sangat bangga. Om-mu selalu bercerita ke tetangga tentang betapa hebatnya kamu sekarang. Tapi Om-mu selalu berharap kamu pulang, bukan hanya kirim uang.”
Aku tertunduk. Air mataku mulai mengalir tanpa bisa kutahan. Semua yang selama ini kupikir cukup, ternyata tak ada apa-apanya.
Uang, barang-barang, atau hadiah yang kukirimkan, semua itu tak bisa menggantikan kehadiranku di sini. Aku lupa bahwa di balik kesuksesan, ada cinta dan pengorbanan yang tak bisa dibayar dengan apapun.
“Maaf, Tante,” hanya itu yang bisa kukatakan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.