Opini
Opini: Menyelamatkan Desa Pesisir dari Regulasi Setengah Hati
Artinya, Perdes yang disusun hanya sebatas memenuhi kewajiban administratif tanpa diiringi dengan komitmen implementasi yang nyata.
Oleh: Try Suriani Loit Tualaka
Peneliti Junior di Institute of Resource Governance and Social Change/IRGSC - Kupang, Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Ketika ombak menggulung pantai, yang pertama kali merasakan dampaknya adalah masyarakat pesisir.
Begitu pula dengan regulasi: ketika kebijakan desa hanya hadir sebagai formalitas, warga pesisirlah yang paling dulu menanggung akibatnya.
Padahal, Peraturan Desa (Perdes) bukan sekadar teks hukum di atas kertas, melainkan simbol otonomi sekaligus instrumen kemandirian desa.
Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 memberi kewenangan penuh kepada desa untuk mengatur dirinya sendiri, termasuk dalam mengelola wilayah pesisir yang sarat tantangan sosial, ekonomi, dan ekologi.
Dasarnya kokoh: Perdes diakui dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dijabarkan dalam PP 43/2014, hingga teknisnya diatur lewat Permendagri 111/2014.
Baca juga: Opini: Pahlawan yang Terlupakan di Balik Janji Generasi Emas
Namun, semua itu akan sia-sia jika Perdes berhenti sebagai regulasi setengah hati.
Artinya, Perdes yang disusun hanya sebatas memenuhi kewajiban administratif tanpa diiringi dengan komitmen implementasi yang nyata.
Regulasi yang tidak dijalankan dengan konsisten hanya akan menjadi dokumen formalitas yang tersimpan di laci, tidak mampu menjawab persoalan masyarakat pesisir.
Tanpa dukungan anggaran, pengawasan yang ketat, serta keterlibatan aktif warga desa, Perdes akan kehilangan daya dorongnya sebagai instrumen tata kelola.
Lebih jauh, kondisi ini berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah desa karena aturan yang dibuat tidak membawa perubahan konkret bagi kehidupan mereka.
Janji Otonomi dan Realitas yang Membelenggu
Di banyak desa pesisir, lahirnya Perdes justru dibelenggu oleh problem klasik: aparatur yang minim kapasitas, partisipasi publik yang seremonial, dan tarik-menarik kepentingan antara nelayan tradisional, investor pariwisata, hingga elite lokal.
Alih-alih menjadi payung perlindungan bagi masyarakat, Perdes kerap berubah menjadi instrument kompromi politik yang lebih menguntungkan segelintir pihak.
Ironisnya, Perdes yang digadang sebagai wujud nyata otonomi desa justru berulang kali direduksi menjadi aturan yang kehilangan daya paksa karena tumpang tindih dengan regulasi di level kabupaten hingga nasional.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.