Pilkada 2024

Anak Muda Menghadapi Sejumlah Hambatan Terjun ke Pilkada

Meski kenyataan politik kadang tidak adil bagi yang tidak memiliki akses atau jejaring, parpol tetap menjadi kunci.

Editor: Agustinus Sape
POS-KUPANG.COM/ENGELBERTUS APRIANUS
Pasangan calon bupati-wakil bupati Manggarai Barat Mario Pranda-Richrd Sontani menyampaikan keterangan kepada wartawan di kantor KPU, Senin 23 September 2024. 

Menurut dia, partai politik masih cenderung menutup akses bagi calon muda yang tidak memiliki koneksi dengan elite partai. Hal ini membuat anak muda, yang umumnya belum memiliki jaringan politik yang kuat, sulit mendapatkan rekomendasi dari partai.

Ia menambahkan, di beberapa kota, ada anak muda yang berhasil maju dalam kontestasi pemilihan calon kepala daerah, tetapi kebanyakan dari mereka memiliki kedekatan dengan elite partai. Kondisi ini menunjukkan proses pencalonan masih didominasi oleh jaringan politik yang sempit dan tidak inklusif.

Akses ke ongkos politik tak seimbang

Arya menyebutkan, ongkos politik yang mahal pun menjadi kendala besar bagi generasi muda, khususnya mereka yang berusia 20-40 tahun, untuk terjun ke politik elektoral. Ia menilai, generasi muda umumnya belum memiliki kekuatan finansial yang cukup untuk membiayai kampanye politik.

Akibatnya, mereka kesulitan untuk bersaing dengan kandidat lain yang sudah mapan secara finansial atau yang berasal dari dinasti politik yang memiliki akses ke sumber daya besar. Kondisi ini membuat partai politik cenderung mengabaikan potensi anak muda yang tidak memiliki dukungan finansial memadai.

Terkait dengan kemampuan anak muda dalam memenuhi ongkos politik, Hurriyah membedakan tiga profil utama anak muda dalam politik.

Pertama, mereka yang memiliki privilese, seperti hubungan dekat dengan elite partai, yang secara otomatis menempatkan mereka di posisi yang menguntungkan dalam proses pencalonan. Namun, jumlah mereka sangat terbatas.

Kedua, anak muda yang memiliki semangat untuk mengubah keadaan, sering kali berasal dari mantan aktivis mahasiswa. Namun, mereka sering kali harus berkompromi dengan sistem oligarki dalam partai sehingga menjadi pragmatis.

Ketiga, kelompok anak muda yang idealis, tetapi antipartai. Mereka cenderung memilih jalur oposisi di luar parlemen, bergabung dengan organisasi nonprofit atau gerakan pemuda nonpartai. Kelompok ini menolak terlibat dalam politik formal karena tidak sesuai dengan ekspektasi mereka terhadap praktik politik partai.

Terakhir, kelompok anak muda yang tidak memiliki perhatian mendalam terhadap politik dan cenderung pragmatis. Mereka biasanya berasal dari latar belakang sosial ekonomi yang rendah dan lebih mudah dimobilisasi untuk kepentingan tertentu.

”Membicarakan anak muda dalam politik sangat tergantung dengan kelompok mana dan siapa yang punya interest dengan politik,” ujarnya.

Berpotensi hambat kemajuan daerah

Dalam pandangan Arya, minimnya keterlibatan anak muda dalam politik berakibat pada ketidakseimbangan representasi politik di Indonesia.

”Kita menghadapi bonus demografi di mana usia muda lebih banyak dari tahun sebelumnya. Tetapi, dari sisi kepemimpinan politik, kita justru menua,” ucapnya.

Menurut Arya, pemimpin politik yang ada saat ini tidak lagi merepresentasikan karakter demografi populasi yang sebagian besar terdiri atas anak muda. Kondisi ini berpotensi menghambat kemajuan daerah karena politik tidak lagi diisi oleh pemimpin yang relevan dengan kebutuhan populasi muda.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved