Berita Lembata

Kelas Demokrasi Nimo Tafa Institute, Eman Krova: Status Warga Lebih Tinggi dari Anggota Parpol

Rasionalitas ini yang diperlukan untuk mencegah politik mayoritas memanfaatkan instalasi demokrasi menjadi saluran totalitarianisme.

Penulis: Ricardus Wawo | Editor: Eflin Rote
POS-KUPANG.COM/HO
Kelas Demokrasi yang diselenggarakan Nimo Tafa Institute kali ini membahas Politik Kewarganegaraan dan Politik Elektoral. Kelas Demokrasi digelar di Aula Perpustakaan Daerah Gorys Leraf, Kabupaten Lembata, Sabtu, 7 September 2024. 

POS-KUPANG.COM, LEWOLEBA - Dalam kelas demokrasi yang diselenggarakan Nimo Tafa Institute, Eman Krova kali ini membedah secara tajam soal politik kewarganegaraan dan politik elektoral. 

Tema ini menjadi sangat penting untuk mengaktifkan kembali rasionalitas publik, sekurang-kurangnya di Lembata, sebagai bagian dari warga negara republik. 

Dalam demokrasi, Eman menekankan, status ontologi warga negara lebih tinggi dari keanggotaan partai politik. 

Tidak ada demokrasi tanpa warga negara, tetapi politik dapat terus diselenggarakan tanpa partai politik. Oleh karena itu, politik perwakilan tidak boleh menghilangkan prinsip primer demokrasi, yaitu keutamaan warga negara. 

"Demokrasi adalah hasrat yang tak pernah sampai. Tapi  kendati ia tidak mencukupi, kita tetap memerlukannya. Utilitasnya memang tidak diukur melalui ambisi etisnya: "dari, oleh dan untuk rakyat", melainkan dengan kenyataan teknisnya: jumlah konsensus minimal suara rakyat," kata Eman dalam Kelas Demokrasi yang diselenggarakan di Aula Perpustakaan Daerah Gorys Keraf, Kota Lewoleba, Sabtu, 7 September 2024. 

Konsensus itulah yang dipertandingkan melalui pemilu. 

Lebih jauh lagi, dia menegaskan jika batas dari demokrasi adalah hak asasi manusia. Rasionalitas ini yang diperlukan untuk mencegah politik mayoritas memanfaatkan instalasi demokrasi menjadi saluran totalitarianisme.

Dalam praktiknya, Eman mengakui, demokrasi cenderung melahirkan oligarki, karena prosedur teknis elektoral (koalisi, electoral treshold) memungkinkan terjadinya transaksi politik status quo.

Tetapi secara substansial, demokrasi juga tetap bertumpu pada prinsip keutamaan warga negara, yaitu jaminan filosofis bahwa politik tidak terbagi habis dalam electoral politics.

Artinya, kewarganegaraan tidak boleh direduksi ke dalam mekanisme politik pemilu yang membagi habis seluruh warga negara menjadi anggota partai politik.

Partai politik, juga parlemen, hanyalah salah satu alat warganegara untuk menjalankan  politik. Karena itu, "alat" tidak boleh membatasi "tujuan".  

Demokrasi tetaplah berdasarkan kedaulatan rakyat, bukan kedaulatan partai. Jadi, demokrasi, di dalam dirinya, memiliki imperatif metapolitik untuk menjamin kedaulatan warga negara.

Baca juga: Lembata akan Menjadi Pulau Pertama di Indonesia dengan 100 Persen Penggunaan Energi Hijau 

"Sesungguhnya, ketegangan antara electoral politics dan citizenship politics inilah yang menjadi problem dari sistem demokrasi," paparnya. 

Melalui pergulatan gagasan ini, orang kemudian menyadari demokrasi bukan ideal terbaik pengaturan politik, tetapi dia "yang paling mungkin" menjamin kesetaraan hak dan kebebasan warga negara. 

Dengan jaminan itu, Eman berujar, selalu terbuka peluang bagi sirkulasi elit dan perubahan susunan politik. Artinya, kendati ada tendensi oligarki dalam demokrasi, tetapi hanya pada demokrasi dimungkinkan terjadinya koreksi politik secara sistemik.

Nimo Tafa Institute merupakan lembaga non profit yang diselenggarakan secara swadaya oleh Eman Krova dan empat orang jurnalis di Lembata yakni Benki Assan, Ricko Wawo, Andri Atagoran, Rian Naur dan aktivis Soman Labaona. (*)

Ikuti Berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved