Opini
Opini: Kelas Menengah dan Kebijakan Ekonomi
Namun, kebijakan memompa kinerja kelompok kelas menengah sebagai bantalan ekonomi nasional bukan tanpa risiko.
Oleh Habde Adrianus Dami
Pemangku Institut Kebijakan Publik dan Penganggaran (KUPANG Institut)
POS-KUPANG.COM - Di tengah pelambatan ekonomi, sudah sewajarnya pemerintah menempuh berbagai upaya menggerakkan sumber pertumbuhan ekonomi. Terutama memulihkan konsumsi masyarakat, yang merupakan kontributor utama dalam pertumbuhan ekonomi.
Mengapa kelas menengah? Salah satu potensi yang sangat besar mendorong konsumsi masyarakat adalah kelas menengah. Sebab, setiap transaksi pada sektor kelas menengah hampir dipastikan memiliki angka nominal yang signifikan mencapai 81,49 persen dari total konsumsi masyarakat.
Selain itu, peran pemerintah dalam PDB tidak lebih dari 10 persen. Artinya, swastalah yang berperan menciptakan lapangan pekerjaan dan peningkatan produktivitas, bukan pemerintah. Pemerintah melalui APBN atau APBD dan
kebijakan yang ditetapkan bisa memengaruhi pertumbuhan sektor swasta.
Namun, kebijakan memompa kinerja kelompok kelas menengah sebagai bantalan ekonomi nasional bukan tanpa risiko.
Inilah dilema perekonomian yang dihadapi. Di satu sisi, dinamika perekonomian domestik tak luput dari dinamika perekonomian global, sedangkan di sisi lain masalahnya juga berimbas pada kelas menengah yang berada dalam kondisi memprihatinkan.
Agar tren penurunan kelas menengah tidak semakin menukik, pemerintah harus lebih realistis melihat ketidakseimbangan internal dan eksternal yang pada gilirannya akan berimbas pada perekonomian nasional.
Karena itu, otoritas perekonomian perlu mengambil respons terkait isu kelas menengah dengan memitigasi risiko tersebut sekaligus memperbaiki struktur perekonomian.
Dualitas realitas
Sejatinya ada tiga alasan yang membuat kelas menengah penting diperhatikan. Pertama, kelas menengah adalah sumber kewirausahaan yang dapat menciptakan lapangan kerja.
Kedua, kelompok ini menyediakan SDM dan tabungan yang diperlukan untuk mempercepat akumulasi modal dalam perekonomian. Ketiga, konsumen kelas menengah mau membayar lebih mahal untuk barang berkualitas yang mendorong diferensiasi produk, investasi dan inovasi.
Begitu pentingnya peran kelas menengah, pemerintah telah menyusun rencana jangka panjang pengembangan kelas menengah dalam rencana pembangunan jangka panjang (RPJP) 2025-2045.
Dalam RPJP, pemerintah menargetkan proporsi kelas menengah yang saat ini sekitar 20 persen, mencapai 80 persen dari populasi pada 2045.
Anjloknya persentase kelas menengah juga terlihat dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS.
Menurut, Amalia, Plt Kepala BPS saat raker dengan Komisi XI DPR terkait APBN 2025 (28/8/2024), pada 2019 jumlah kelas menengah mencapai 57,33 juta orang atau setara 21,45 persen dari total penduduk.
Lalu, pada 2024 hanya tersisa menjadi 47,85 juta atau setara 17,13 persen. Artinya, ada sebanyak 9,48 juta warga kelas menengah yang turun kelas.
Sehingga dapat dimaknai, ketika proporsi kelas menengah turun, jumlah kelas ekonomi di bawahnya yakni calon kelas menengah dan rentan justru naik.
Pada tahun 2014, penduduk yang tergolong calon kelas menengah merepresentasikan sekitar 45,8 persen populasi atau setara dengan 115 juta jiwa.
Namun, pada tahun 2023, angka tersebut meningkat menjadi 53,4 persen atau setara dengan 144 juta jiwa. Lebih dari separuh populasi Indonesia masuk dalam kategori calon kelas menengah.
Dengan kata lain, pada rentang waktu 2014-2018, terdapat tren positif mobilisasi sosial masyarakat ke atas. Proporsi populasi miskin dan rentan menurun, sedangkan calon kelas menengah dan kelas menengah mengalami pertumbuhan.
Namun, dari tahun 2018-2023, ekspansi kelas menengah mengindikasikan adanya kemunduran dari progress ini. Dimana porsi populasi rentan meningkat dan kelas menengah menyusut, yang mengindikasikan adanya pergeseran dari individu yang sebelumnya merupakan kelas menengah ke calon kelas menengah atau bahkan rentan.
Deretan angka itu memang kontraktif sehingga berkonotasi negatif. Sebagaimana tampak sinyal sejumlah indikator tekanan pada kelas menengah adalah, Pertama, pemerintah menetapkan garis kemiskinan tahun 2024 sebesar Rp 550.000, maka kelas atas pengeluarannya 17 kali di atas garis kemiskinan atau di atas Rp 9.900.000, per bulan.
Sedangkan kategori kelas menengah pengeluarannya 3,5-17 kali garis kemiskinan atau Rp 2.040.000, juta sampai dengan Rp 9.900.000 per bulan.
Rentan miskin, ialah 1-1,5 kali garis kemiskinan atau Rp.582.930,- sampai dengan Rp 874,390 per bulan. Adapun kelompok miskin pengeluaran di bawah garis kemiskinan senilai Rp 582.930 per bulan.
Sementara itu, data Mandiri Spending Index (MSI) menunjukkan porsi pengeluaran untuk bahan makanan meningkat dari 13,9 persen pada januari 2023 menjadi 27,4 persen dari total pengeluaran pada juli 2024.
Data MSI dapat dipahami bahwa ketika pendapatan masyarakat menurun, mereka akan tetap mempertahankan konsumsi kebutuhan pokoknya, seperti makanan. Untuk kelas menengah, 41,57 persen dari pengeluarannya habis untuk membeli makanan, sementara calon kelas menengah bahkan 55,21 persen.
Kedua, Data MSI juga menunjukkan fenomena makan tabungan (mantab) sangat terasa di kalangan menengah-bawah. Dimana, rata-rata saldo tabungan nasabah kurang dari Rp 100 juta turun yakni April 2014 sebesar Rp 3 juta menjadi Rp 1,8 juta pada April 2024.
Ketiga, ada migrasi pilihan kendaraan karena terbatasnya pendapatan. Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO), menunjukkan penjualan motor Januari-Juni 2024 mencapai 3,17 juta unit atau melesat 49 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Sebaliknya, penjualan mobil anjlok 19,4 persen menjadi 408.012 unit pada Januari-Juni 2024.
Keempat, Menurut Vivo Ballo, Ketua Gapensi NTT, pada 2016 mempunyai anggota sebanyak 1.300 perusahaan, namun menyusut menjadi 300 perusahaan 2023.
Pemicunya antara lain pengadaan barang dan jasa menggunakan pola tender konsolidasi dimana paket pekerjaan kecil antar kabupaten/kota digabungkan menjadi satu paket dengan nilai besar sehingga pengusaha lokal tidak memiliki akses atas pekerjaan itu.
Kontroversi tender kondolidasi semacam itu jelas tidak sehat, kontrapoduktif dan dinilai memberikan sentimen negatif bagi iklim persaingan usaha di antara pelaku ekonomi.
Apakah ini cerminan dari kebijakan pengadaan barang dan jasa nasional yang tidak jelas arah dan targetnya? Ataukah memang hanya merupakan upaya monopoli pelaku ekonomi nasional.
Penalaran di atas menunjukkan besarnya dampak terhadap kelas menengah. Sehingga, butuh tindakan kebijakan untuk memperkuat institusional kelas menangah, dengan berbagai instrumen yang bersifat penguatan inclusive economic intitutions, bukan sebaliknya memperkokoh extractive economic institutions.
Kebijakan relaksasi
Saat ini, ekonomi indonesia memasuki periode malaise. Pelaku ekonomi merasa tidak nyaman. Untuk itu perlu membalikkan ekspektasi pelaku ekonomi dari pesimistis menjadi optimistis.
Pada titik ini, pelaku ekonomi pasti berharap pilihan kebijakan yang diambil pemerintah pada masa mendatang lebih mencerminkan pemihakan kepada kekuatan ekonomi nasional dan golongan menengah-kecil.
Lalu apa yang bisa dilakukan? Untuk membangkitkan kelas menengah yang bisa memberikan daya ganda (multiplier) ekonomi bagi perekonomian, maka komitmen pemerintah terlihat pada kerangka kebijakan yang kuat.
Paling tidak ada dua elemen pokok yang harus ditata yakni Pertama, elemen terkait kelembagaan. Sebagus apapun kebijakan teknis (ekonomi), tanpa tata kelola kelembagaan yang baik hanya akan menimbulkan kontradiksi dan kontroversi.
Para penganut teori sistem meyakini bahwa tujuan yang baik harus disertai tata kelola kelembagaan yang baik pula. Sehingga, tata kelola kelembagaan meliputi kepemimpinan, koordinasi, dan kompetensi.
Tata kelola berfungsi untuk menjalankan setiap sistem yang telah dipilih dengan tingkat akurasi, konsistensi, dan prinsip yang terjaga.
Inilah yang membuat setiap kebijakan tak mudah ditelikung di tengah jalan sehingga terhindar dari moral hazard, perburuan rente dan penyimpangan lainnya. Tanpa ada tata kelola tersebut, mustahil bisa membangun kelembagaan yang baik agar skala ekonomi tercapai.
Kedua, kebijakan teknis yang memadai dalam menjawab aneka persoalan aktual di berbagai bidang khususnya kelas menengah seperti belanja pemerintah memberikan stimulus fiskal melalui nilai proyek berskala menengah dan padat karya yang tidak mengganggu defisit anggaran, tetapi efek bergulirnya besar.
Jika kelas menengah-bawah memperoleh penghasilan, akan mendorong daya beli yang selanjutnya meningkatkan konsumsi.
Apa lagi? Pemerintah mungkin bisa membuat kebijakan memberikan insentif pajak bagi perusahaan yang tak melakukan PHK.
Dengan kebijakan ini, orang tetap bekerja dan daya beli terjaga. Kebijakan ini kita kenal dengan keep buying strategy.
Disamping itu, ada faktor penentu lain, meningkatkan kualitas belanja pemerintah, memperdalam insentif fiskal untuk mendorong investasi, meningkatkan transformasi ekonomi untuk produktivitas, daya saing dan penguatan pelaku ekonomi, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan menjaga daya beli masyarakat.
Secara ringkas, kebijakan ini memberi ruang gerak yang lebih luas (relaksasi) mendorong pertumbuhan kelas menengah. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.