Berita NTT

KOMPAK Khawatir Rancangan Perpres Tentang Syarat Dirikan Rumah Ibadah

Dalam konsepsi HAM mestinya dipegang oleh negara. Dalam aturan bersama justru aturan diberikan ke masyarakat.

Penulis: Irfan Hoi | Editor: Eflin Rote
POS-KUPANG.COM/IRFAN HOI
Kristina Viri dari YKPI, saat membawakan materi dalam dialog bersama yang digelar KOMPAK secara virtual. 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Irfan Hoi

POS-KUPANG.COM, KUPANG - Komunitas Orang Muda Lintas Agama, Peace Maker Kupang (KOMPAK) mengkhawatirkan rancangan peraturan presiden atau Perpres tentang pendirian rumah ibadah

Dalam dialog yang digelar, Sabtu 31 Agustus 2024 secara virtual, KOMPAK menghadirkan sejumlah pemerhati keberagaman membahas hal itu. Salah satunya, Kristina Viri dari YKPI.

Kristina dalam materinya mengatakan, Indonesia punya satu peraturan bersama tentang pendirian rumah. Syarat itu mengenai 90 dan 60. 90 untuk umat yang punya agama dan 60 umat disekitar rumah ibadah. Syarat ini memang cukup rumit.

"Lebih parah lagi 90-60 ini di daerah lain, syarat diperketat.bukan saja 90-60 tapi lebih dari 100 yang harus dipenuhi pemilik rumah," kata dia.

Padahal dalam konstitusi Indonesia telah menjamin ini. Dalam konsepsi HAM mestinya dipegang oleh negara. Dalam aturan bersama justru aturan diberikan ke masyarakat. Akhirnya muncul konflik di masyarakat.

Di beberapa  daerah di NTT, pendirian rumah ibadah ditempat itu masih cukup sulit.  Peraturan bersama tiga menteri itu membelah kerukunan yang pada dasarnya telah terbina sejak dulu. 

Revisi peraturan itu kini digelar. Masyarakat pun senang dengan kabar itu lewat Perpres. Namun, dalam rancangan Perpres itu tidak jauh berbeda dengan aturan sebelumnya. Hal itu semakin berpotensi menimbulkan persoalan.

Rancangan Perpres itu, kata dia, akan membawa semua penyelesaian dilakukan ditingkatkan pemerintah pusat. Berbeda dengan aturan sebelumnya yang diselesaikan di tingkat lokal.

"Kearifan lokal itu justru bisa direduksi dengan semangat sentralisasi ini," kata Kristina. 

Di samping itu, rancangan aturan itu bisa menyampaikan forum kerukunan umat beragama atau FKUB. Nantinya FKUB tingkat nasional akan menjadi wadah menyelesaikan itu.

Dalam pasal 22 rancangan Perpres itu masih terdapat syarat 90-60, bahkan bukan saja identitas dari pengguna rumah ibadah atau warga sekitar, tapi dibuktikan juga dengan surat keterangan domisili atau merupakan warga setempat.

Lebih memperhatikan yang dimaksudkan adalah pemanfaatan bukan rumah ibadah sebagai tempat ibadah. Rancangan Perpres juga membicarakan hal itu. Komunitas itu harus menjaga ketertiban masyarakat sekitar.

"Itu akan sangat menyulitkan dan belum menjawab persoalan pendirian rumah ibadah selama ini," kata dia.

Rancangan Perpres saat ini sedang berproses dan akan segera disahkan. Setelah sebelumnya tertunda sejak Pemilu 2024. 

Sisi lain, Kementerian Dalam Negeri juga belum menerima penganut kepercayaan menjadi sebuah kepercayaan. Dia mengatakan, FKUB nasional justru akan membuat kontraproduktif.

Baca juga: Atasi Krisis Dokter Kandungan di Lembata, Melki Laka Lena Bangun Komunikasi dengan Kemenkes

Dia mendorong masyarakat sipil agar memberikan catatan kritis ke Kementerian Polhukam untuk bisa diperhatikan lagi rancangan Perpres itu.

Kristina sepakat NTT ataupun di Kota Kupang toleransi. Untuk itu insiatif lokal harusnya bisa menjadi tonggak menjaga kemajemukan itu. Sehingga syarat 90-60 itu bisa dieliminir berkaca dari kearifan lokal.

Syarat yang dibuat pemerintah pada akhirnya menjadi pemantik. Apalagi dipolitisasi syarat itu sendiri. Kelemahan peraturan bersama itu kemudian menimbulkan konflik.

"Bahwa syarat 90-60 sangat sulit dipenuhi, maka jangan sampai menjadi tambahan persoalan. Sehingga alternatif lain harus disediakan. Harapnya syarat itu bisa hilang (di Perpres)," katanya.

Rancangan ini membutuhkan masyarakat dan rekomendasi dari berbagai pihak agar mendorong adanya jalan tengah mengenai pendirian rumah ibadah.

Jika Perpres itu disahkan maka akan mengikat ke semua daerah. Sentralisasi yang ada di Perpres menjadi kekhawatiran yang bisa membuat pendirian rumah ibadah justru menjadi lebih pelik. 

Iskandar Wutun dari KOMPAK, mengatakan, NTT sendiri mungkin tidak begitu terasa karena ada beberapa faktor yang melandasi. Dia menyebut, persoalan di bangsa ini mengenai kepercayaan sengaja diciptakan.

Pemerintah seolah tutup mata akan berbagi persolan. Di Kota Kupang, misalnya, banyak disorot. Temuan FKUB Kota Kupang terdapat ada beberapa masalah yang belum dipergunakan betul.

Pendirian rumah ibadah selama ini di Kota Kupang memang ada yang belum sepenuhnya menyanggupi syarat yang ada. Aturan 90-60 itu jelas memberatkan masyarakat.

Komunitas Budha di Kota Kupang yang tidak lebih dari 60 kepala keluarga, kata dia, pasti akan terhambat dengan syarat yang ada. Di Timor Tengah Selatan pembangunan masjid, di TTU persoalan pendirian gereja, justru masih mendapat kendala.

"Konteks mayoritas dan minoritas masih dipakai ajang untuk penolakan pendirian rumah ibadah itu sendiri," kata dia.

90-60, kata dia, menjadi pembatasan bagi masyarakat dalam menganut kepercayaan. Sensitivitas yang dibangun itu bahkan berjalan beriringan ketika penolakan di suatu daerah.

KOMPAK bersama komponen terkait di Kota Kupang telah menginisiasi aturan tentang pendirian rumah ibadah. Dalam Perwali itu, syarat 90-60 itu kemudian dilonggarkan agar memberi kemudahan bagi para komunitas untuk menjalankan ibadah.

"Kebebasan beragama dalam konteks di NTT tidak semua merata di semua wilayah" kata dia.

NTT menurut dia, perlu punya regulasi yang tidak perlu didasari 90-60 ataupun mayoritas maupun minoritas. Padahal banyak daerah di NTT bisa menjadi contoh sebagai wujud kerukunan.

Wutun mengatakan, memang ada kaitan politik yang dibawa ke pembangunan rumah ibadah. Beberapa catatan pengalaman selama ini akan menjadi pengayaan dalam rekomendasi ke pengesahan Perpres.

Indra Efendi, perwakilan dari umat Budha NTT mengatakan, kearifan lokal dan toleransi yang tinggi dari masyarakat Kota Kupang pada akhirnya umat Budha di NTT diberi tempat dan sebuah rumah ibadah bagi umat dibangun.

Lokasi pembangunan itu merupakan hibah tanah dari Pemerintah Kota Kupang. Jika mengikuti aturan 90-60 maka umat Budha tidak punya rumah ibadah. Perluasan aturan yang tidak mengerucut ke wilayah pembangunan, menjadi poin penting.

"Sebelum kami berniat membangunnya rumah ibadah itu kami membangun komunikasi ke lembaga agama, sehingga kami disupport. Apa yang sekarang terwujud di Sikumana itu adalah kerja kita bersama," ujarnya.

Dalam konteks Kota Kupang memang itu adalah bukti kerja bersama, tidak melihat mayoritas dan minoritas. Baginya mayoritas dan minoritas merupakan angka. Harusnya kerukunan beragama harus diterapkan secara baik, dan Kota Kupang sudah mewujudkan itu.

Ketua AJI Kota Kupang Djemi Amnifu mengatakan, persoalan pendirian rumah ibadah akan meluas ketika itu dibawa ke ranah politik. Selama ini, banyak pendirian rumah ibadah yang berjalan baik.

"Dia menjadi soal ketika dibawa ke ranah politik," kata dia.

Mestinya pemerintah pusat harus belajar dari Provinsi NTT dalam mendirikan rumah ibadah. Dia mencontohkan jumlah rumah ibadah yang berdampingan antar satu dengan yang lainnya. Kehidupan itu berdampingan dan tidak ada gangguan apapun.

Sisi lain, dia memaklumi ada gesekan. Persoalan itu muncul karena memang dipolitisasi oleh orang dengan kepentingan tertentu. Dia berharap agar persoalan semacam polemik rumah ibadah agar tidak digemborkan lebih luas. (fan)

Ikuti Berita POS-KUPANG.COM di Google NEWS

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved