Opini

Opini: Menyoal Lima Hari Sekolah, Antara Efisiensi dan Efektivitas Pendidikan

Artikel ini sekadar mau mengajak kita untuk sedikit lebih jauh melihat efektivitas penerapan lima hari sekolah. 

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO
Ilustrasi. Siswa-siswi SMA Giovanni Kupang saat mengikuti kegiatan belajar mengajar. 

Oleh Sergius Dhema
Pemerhati pendidikan asal Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Saya  cukup tergelitik membaca berita Pos Kupang (31/7/2024), yang bertajuk: “Sekolah Lima Hari Dinilai Tidak Efektif, SMAK Giovanni Kupang dan Yayasan Kaji Aturan.” 

Dalam berita tersebut, RD Stefanus Mau, selaku Kepala Sekolah SMAK Giovanni Kupang, menyoroti beberapa masalah krusial yang terjadi terkait penerapan lima hari sekolah, sebagaimana yang pernah diterapkan SMAK Giovani pada tahun 2017.  

Kebijakan lima hari sekolah yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 ini telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan pendidik, orang tua, dan masyarakat. 

Kasus SMAK Giovanni Kupang yang kembali ke sistem enam hari sekolah setelah mencoba menerapkan kebijakan tersebut menjadi gambaran nyata tantangan implementasi kebijakan ini di lapangan. 

Artikel ini sekadar mau mengajak kita untuk sedikit lebih jauh melihat efektivitas penerapan lima hari sekolah. 

Implementasi Lima Hari Sekolah

RD Stefanus Mau menyoroti beberapa masalah krusial yang terjadi, antara lain: penurunan prestasi siswa, kelelahan yang dialami guru dan siswa, serta gangguan pada kegiatan ekstrakurikuler. 

Menurutnya, setelah istirahat siang di jam 13.45 wita saat pelajaran kembali dimulai, pembelajaran sudah tidak efektif lagi karena banyak siswa yang kepayahan dan mengantuk. 

Masalah kelelahan dan penurunan efektivitas belajar ini menunjukkan bahwa perpanjangan jam sekolah tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan kualitas pembelajaran. Ada batas optimal konsentrasi dan daya serap siswa yang perlu diperhatikan. 

Fenomena ini mengangkat pertanyaan penting tentang bagaimana kita memahami dan menerapkan konsep "waktu belajar yang efektif". Apakah menambah jam pelajaran tanpa mempertimbangkan kapasitas kognitif dan fisik siswa merupakan pendekatan yang tepat? 

Bagaimana kita dapat merancang jadwal sekolah yang menghormati ritme alami belajar siswa dan memaksimalkan periode konsentrasi mereka?

Dampak Penerapan

Dampak pertama pemberlakuan lima hari sekolah adalah pada kegiatan ekstrakurikuler. Gangguan pada kegiatan ekstrakurikuler ini menjadi catatan penting. 

Sebagaimana dikatakan Romo Stef, akibat pemberlakukan lima hari sekolah, banyak kegiatan ekstrakurikuler dan pengembangan diri yang tidak dilaksanakan dengan baik, karena ada guru dan siswa yang menganggap hari Sabtu adalah hari libur. 

Padahal kegiatan pengembangan diri di luar jam belajar formal merupakan komponen penting dalam menumbuhkembangkan soft skills siswa. 

Jika sistem lima hari sekolah mengorbankan aspek ini, maka perlu dipertanyakan apakah kebijakan tersebut benar-benar memberikan manfaat bagi perkembangan siswa secara menyeluruh.

Para praktisi pendidikan tentu sadar sepenuhnya bahwa kegiatan ekstrakurikuler tentu bukan sekadar tambahan, tetapi merupakan bagian integral dari pendidikan yang komprehensif. 

Melalui kegiatan ini, siswa mengembangkan keterampilan kepemimpinan, kerja tim, kreativitas, dan kemampuan mengelola waktu. 

Dalam dunia kerja, kapasitas-kapasitas ini bahkan dapat menjadi faktor penentu utama bagi ‘keberhasilan’ seseorang.  Karenanya, mengabaikan aspek ini demi mengejar target akademik semata justru merupakan langkah mundur dalam upaya mempersiapkan generasi emas Indonesia.

Dampak kedua adalah pengaruhnya terhadap “work-life balace”. Tantangan terbesar penerapan lima hari kerja adalah memastikan siswa tidak terlalu terbebani dan masih memiliki waktu cukup untuk beristirahat dan bersosialisasi di luar sekolah. 

Bagaimana kita dapat menciptakan sistem yang mempersiapkan siswa untuk sukses secara akademis dan profesional, tanpa mengorbankan kesehatan mental, waktu keluarga, dan pengembangan pribadi mereka?

Dukungan dan Panduan

Pemerintah, dalam hal ini kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tidak perlu gegabah dan terburu-buru mengeluarkan kebijakan pendidikan, termasuk lima hari sekolah ini. 

Kalaupun itu dilakukan, maka harus melalui kajian mendalam dan diikuti dengan seperangkat dukungan terhadap kebijakan tersebut. 

Misalnya, pemerintah perlu memberikan dukungan lebih dalam bentuk pelatihan guru, penyediaan fasilitas, dan panduan implementasi yang lebih detail bagi sekolah yang ingin menerapkan sistem lima hari sekolah. 

Tanpa persiapan yang matang, perubahan sistem hanya akan menimbulkan kekacauan dan kebingungan, yang justru kontraproduktif terhadap tujuan pendidikan itu sendiri. 

Kita di NTT bisa belajar dari pengalaman masuk sekolah jam lima pagi beberapa waktu lalu. Kebijakan yang hanya mencari sensasi, tanpa kajian dan persiapan, terbukti hanya berujung pada kegagalan dan menjadi olok-olokan nasional.

Dukungan pemerintah, baik pusat maupun daerah, juga mencakup pengembangan modul pelatihan untuk membantu guru beradaptasi dengan jadwal yang lebih padat, investasi dalam teknologi pendidikan untuk memfasilitasi pembelajaran yang lebih efisien, dan penyediaan konsultan pendidikan yang dapat membantu sekolah dalam merancang dan mengevaluasi implementasi kebijakan baru tersebut.

Evaluasi dan Perbaikan Berkelanjutan

Satu hal yang positif dari Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 ini adalah masih diberikannya ruang kebebasan bagi sekolah untuk menerapkan atau tidak menerapkan lima hari sekolah tersebut. 

Dengan demikian, sekolah diberi kebebasan untuk mengevaluasi manfaat dan mudaratnya lima hari sekolah. Tentu sayang, kalau sekolah tidak berani melakukan evaluasi yang jujur terhadap penerapan lima hari sekolah.

Mengevaluasi berkala dan perbaikan terus-menerus, seperti yang dilakukan SMAK Giovanni, harus menjadi budaya dalam sistem pendidikan kita. 

Keterbukaan untuk mengakui kekurangan dan keberanian untuk melakukan perubahan adalah kunci dalam menciptakan sistem pendidikan yang adaptif dan responsif terhadap kebutuhan zaman.

Proses evaluasi ini seharusnya tidak hanya melibatkan Kepala Sekolah dan guru, tetapi juga siswa, orang tua, dan komunitas yang lebih luas. 

Dengan melibatkan semua pemangku kepentingan, kita dapat memastikan bahwa perubahan yang dilakukan benar-benar menjawab kebutuhan dan aspirasi semua pihak yang terlibat dalam proses pendidikan.

Konten dan Metode Pembelajaran

Regulasi pemerintah, menurut saya, semestinya tidak perlu terlalu jauh mengatur terkait berapa hari sekolah. 

Biarkan hal tersebut dikembalikan kepada sekolah dengan mempertimbangkan efektivas dan kontekstualitas masing-masing. Regulasi sebaikanya lebih fokus pada pada konten dan metode pembelajaran. 

Inovasi dalam pedagogi, pemanfaatan teknologi, dan pengembangan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan abad ke-21 harus menjadi prioritas utama. 

Sistem apapun yang dipilih sekolah, baik lima hari maupun enam hari, harus mampu memfasilitasi pembelajaran yang bermakna, mengembangkan kreativitas, dan mempersiapkan siswa menghadapi tantangan masa depan.

Pemerintah dapat mempertimbangkan pendekatan pembelajaran berbasis proyek yang mendorong siswa untuk menerapkan pengetahuan mereka dalam konteks dunia nyata, atau mengintegrasikan keterampilan digital dan literasi informasi ke dalam semua mata pelajaran. 

Fokus pada pengembangan kemampuan berpikir kritis, kreativitas, komunikasi, dan kolaborasi - yang sering disebut sebagai "keterampilan 4C" - juga harus menjadi bagian integral dari kurikulum, terlepas dari jumlah hari sekolah. (*)

 

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved