Opini

Opini: Merindukan Guru Panutan

Akhir-akhir ini tarbiah Tanah Air kembali digaduhkan dengan munculnyaberbagai kasus demi kasus yang terjadi di ranah pendidikan kita.

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Ridwan Mahendra. 

Pertama, Buya Syafii Maarif, sosok kesederhaan dan kesahajaan Buya Syafii untuk tidak mau bergantung dengan orang lain serta kemerdekaan jiwa manusia menjadi satu bentuk keteladanan yang harus ditiru, setidaknya bagi kami anak-anak ideologisnya terlebih bagi dunia pendidikan.

Kedua, Maimoen Zubair atau yang akrab disapa Mbah Moen adalah sosok guru dan penuntun.

Mbah Moen merupakan sosok orang tua, guru, penuntun, dan pembimbing sehingga kepergian beliau meninggalkan duka yang mendalam khususnya dalam pendidikan di Indonesia saat ini.

Dunia pendidikan Indonesia yang semakin hari dahaga keteladanan tentu menjadi PR bersama bagi instansi terkait, terkhusus bagi seorang pendidik sebagai poros utama suksesnya pendidikan di Indonesia.

Kasus demi kasus yang terjadi di ranah sekolah yang dilakukan oleh oknum guru, seolah pendidik gagal dalam mendidik siswanya dalam meraih cita-cita suatu bangsa.

Semboyan

Sebagai pendidik, mari sejenak mengingat semboyan yang digaungkan Ki Hajar Dewantara yang berbunyi “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”.

Semboyan tersebut bukan hanya sekadar diingat ketika Hari Pendidikan Nasional semata, tetapi harus selalu tertanam dalam dari seorang pendidik.

Seorang pendidik harus benar-benar mampu memberi teladan yang baik bagi siswa, pendidik harus mampu memberikan ide serta gagasan yang membangun tanpa menyimpang, dan pendidik harus mampu mendorong siswa untuk melakukan hal yang baik tanpa memaksakan kehendak terhadap siswanya.

Melalui semboyan yang sudah digaungkan oleh Ki Hajar Dewantara tersebut, guru seharusnya mengedepankan sebuah karisma sebagai seorang pendidik yang berwibawa dan berdedikasi tinggi terhadap kemajuan pendidikan di Indonesia.

Seorang guru yang mendedikasikan sepenuh hatinya untuk pendidikan di Indonesia tentu mengerti kode etik di dalam memberikan pengarahan dan mendidik bagi siswanya untuk meraih cita-cita.

Cita-cita yang mulia bagi pendidik yang dapat diartikan sebagai guru yang digugu lan ditiru.

Dalam filosofi bahasa Jawa guru mempunyai peranan bahwa perkataannya harus dapat dijadikan pedoman bagi siswa dan dapat dipertanggungjawabkan tanpa mengesampingkan kode etik yang berlaku.

Guru harus dapat memberi contoh, panutan, dan pedoman bagi peserta didik dalam menggapai cita-cita mereka kelak. (*)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved