PPDB
PPDB Jadi Sorotan Ombudsman RI, Perlu Perbaikan Sistem
Anggota Ombudsman RI menilai perlu perbaikan cetak biru pendidikan untuk menjawab permasalahan dalam PPDB.
POS-KUPANG.COM, JAKARTA - Masalah dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) menjadi sorotan Ombudsman Republik Indonesia. Persoalan selama seleksi PPDB berlangsung hampir setiap tahun. Agar tidak berulang, pemerintah perlu mengambil langkah perbaikan secara jangka panjang agar masalah serupa tidak terulang.
Anggota Ombudsman RI, Indraza Marzuki Rais, memandang masalah di penerimaan siswa baru, seperti adanya siswa titipan lewat ”jalur siluman” hingga praktik manipulasi dokumen kependudukan, selalu berulang setiap tahun. Setiap tahun, Ombudsman selalu menindaklanjuti laporan masyarakat terkait PPDB.
Indraza menilai, pengawasan yang berjalan setiap tahun saat PPDB tidak cukup. Pemerintah sebagai penyelenggara PPDB harus secara simultan mengambil langkah perbaikan secara jangka panjang. Langkah perbaikan yang dimaksud sebenarnya telah disinggung dalam laporan Ombudsman RI tentang pengawasan PPDB di 28 provinsi pada 2023.
Ombudsman RI dalam laporan bertajuk ”Pengawasan Penerimaan Peserta Didik Baru Tahun 2023” menjadikan sejumlah fenomena tersebut sebagai temuan. Praktik manipulasi dokumen kependudukan jamak terjadi di sejumlah daerah untuk pemenuhan jalur zonasi. Selain itu, ada praktik titip siswa ke sekolah tertentu lewat berbagai pihak, praktik pungutan liar pada proses pendaftaran ulang, dan penambahan ruang kelas atau daya tampung rombongan belajar yang tidak sesuai ketentuan.
”Setiap warga pada dasaranya berhak memperoleh pendidikan dan negara wajib memfasilitasi serta membiayainya. Selain terus melakukan pengawasan PPDB, secara simultan juga perlu diambil langkah perbaikan secara jangka panjang,” ujar Indraza dalam keterangan tertulis, Selasa (25/6/2024) malam.
Rekomendasi Ombudsman tahun lalu, perlu ada cetak biru pendidikan untuk Indonesia. Tidak hanya memetakan persebaran satuan pendidikan dan kualitasnya, tetapi juga memuat proyeksi dan strategi pemenuhan serta pemerataan akses pendidikan. Apabila hal itu dirasa terlalu panjang prosesnya, langkah termudah yang bisa diambil, misalnya, bekerja sama dengan sekolah swasta yang secara operasional sudah memadai, baik sarana prasarana maupun tenaga pengajarnya.
Indraza menembahkan, lolosnya sejumlah dokumen palsu biasanya karena proses verifikasi dilakukan dengan sekadar ceklis, sepanjang dokumen terpenuhi maka dianggap ada dan sah secara administratif. Kerap kali tidak dilakukan validasi keabsahan dokumen kependudukan tersebut.
Ombudsman RI pun menemukan adanya satu dokumen kartu keluarga yang berisi lima hingga sepuluh anak usia sekolah dengan status famili lain. Ketidaklaziman seperti itu juga perlu dibuat mekanisme validasinya. Pemalsuan dokumen kependudukan sebetulnya merupakan tindak pidana yang semestinya dapat diproses sesuai jalur hukum.
Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Teguh Setyabudi mengatakan, pemalsuan dokumen kependudukan, baik itu kartu keluarga, KTP, maupun akta pencatatan sipil, melanggar ketentuan Pasal 94 Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. Mereka yang memanipulasi data kependudukan terancam pidana penjara paling lama 6 tahun dan atau denda Rp 75 juta.
”Verifikasi kelengkapan dokumen untuk pendaftaran PPDB, khususnya verifikasi untuk memastikan keaslian dokumen kependudukan yang telah diunggah oleh peserta, disarankan untuk cek ulang melalui aplikasi QR code. Aplikasi itu dapat diunduh di Google Play atau dapat melibatkan dinas dukcapil setempat,” kata Teguh melalui pesan tertulis, Selasa (25/6/2024), di Jakarta.
Harian Kompas sebelumnya sempat memuat laporan investigasi dua hari berturut-turut mengenai praktik kecurangan di PPDB. Dua ulasan yang menjadi laporan utama, antara lain, tentang fenomena siswa titipan yang masuk sekolah negeri lewat ”jalur siluman” dan manipulasi dokumen kependudukan.
”Jalur siluman” adalah istilah untuk jalur masuk sekolah negeri lewat desakan permintaan orang yang memiliki kuasa tertentu. Berdasarkan temuan tim Kompas, titipan tersebut mulai dari anggota legislatif, aparat, pejabat daerah, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), hingga wartawan.
Baca juga: News Analysis Sistem PPDB di NTT, Pengamat Pendidikan: Masih Ada Pelanggaran
Kompas membandingkan rencana daya tampung sekolah saat PPDB dengan total siswa baru setelah tahun ajaran bergulir. Sejumlah SMA negeri di beberapa provinsi diketahui menerima siswa baru melebihi daya tampung sekolah yang dilaporkan. Hal itu terjadi pasca-PPDB setelah pihak sekolah menerima siswa-siswa titipan.
Indraza menyebutkan, dalam praktiknya selalu ada ”jalur lain” di luar empat jalur seleksi PPDB yang telah ditetapkan. Hal itu biasanya muncul setelah PPDB selesai dilaksanakan, titip siswa dari pejabat melalui surat rekomendasi misalnya, selalu terjadi setiap tahun.
”Di satu sisi, penyelenggara PPDB baik dari dinas hingga sekolah tak dapat menolak permintaan dari kuasa yg lebih tinggi. Meski begitu, ada juga temuan di mana penyelenggara ikut menjadi ’pelaku’ kecurangan PPDB,” ucap Indraza.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.